• Breaking News

    ⚖️ Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu hukum 𝐄𝐪𝐮𝐮𝐦 𝐞𝐭 𝐛𝐨𝐧𝐮𝐦 𝐞𝐬𝐭 𝐥𝐞𝐱 𝐥𝐞𝐠𝐮𝐦 ⚖️ Fakultas Syariah dan Hukum, Uin Alauddin Makassar ⚖️

    Tritagonis

     

    Gambar : Sumber Kompas.com

    Cerpen - Sorak poranda tertampang abu yang hitam bagai ditarik tirai kelam dua sisi. Dibukanya mata, ternampak sejadah bergambar Makkah, membalut lantai kayu yang diduduki. Suara derit kayu mengiringi ketika berdiri, kaki melangkah, meraih korek dan menyalakan sulo disetiap sudut rumah. Dari jendela, chandra berada di ufuk barat, lembayung selesai hingga nastabala remang cahayanya.

    "Kita akan berdiri dengan kaki sendiri."

    Impian umum dari para Pribumi.

    Radio bagai menyuarakan longsor dan hujan bersamaan. Suara serak putus-putus berusaha berhenti ketika antena dia gerakkan, dipanjangkan, dibuat miring, hingga tiada lagi suara yang serak. Sapaan, pembukaan, lalu masuk ke pembahasan. Pidato-pidato terputar di mana para pemerintah membacakan kebanggaan mereka, lanjut ke isi musik belanda dan berita ditundanya perekaman musik Life Java Sambil diiringi lagu Belanda yang memantul di rumah kayuku, korek api dikibas ketika sulo menyala semua.

    "Mereka akan ku injak"

    "Mereka akan ku injak."

    Disambut oleh matinya musik hingga tertelan sunyi. Kesunyian di mana radio membisu, tombol satu kosong naik penuh, selurus dengan tombol lainnya. Tiada musik yang keluar dari radio lagi. Antenanya macam layu, sengaja disentil jatuh-oleh Kelarai yang melonggarkan kerah baju.

    "Orang-orang dan sanak saudara sudah menunggu kedatangan kita." Selembaran kertas nampak tulisan ditulis tangan, oleh Kelarai. "Aku berotak batu, tapi lebih tahu, jalan ini yang patut diikuti. Hanya kau, Sobat, yang dapat membaca. Benarkah mereka akan menjemput kita?"

    Isi kertas itu menarik garis wajahku, menggariskan syak wasangka yang jelas di muka. Lembaran kertas yang tertulis-habis dibaca-itu ku kibar bagai bendera negara. "Di pelabuhan jakarta, lanjut pergi ke tanah jawa," pungkas ku, menatap wajah Sobat yang hanya nampak tersenyum. Tidak bosan kah kau ditangkap polisi?"
    "Tidak lelah kah kau ditindas oleh Orang Asing Luar Negara?"

    Geming, dengan bibir terkatup. Kehilangan beribu paragraf argumen telah terjadi sering padaku. Mungkin saja, mungkin-lebih rendah aku yang terdidik daripada Kelarai yang hobi membibit. Aku tentu memiliki pangkat, terdidik di sekolah HBS, lanjut ke sekolah khusus Opseter, lulus dengan nilai memuaskan. Dilatih menjadi cendikiawan dan bisa mengargumenkan berbagai terjemahan isi dari tulisan orang Eropa. Dihormati banyak orang, punya banyak koneksi di negeri besar-tetapi hanya sebatas itu. Tidak dengan keberanian membela hak sebagai pribumi tertindas-tidak seperti Kelarai yang petani tapi bisa berani.

    Menginjak tangga rumah panggung. bumantara telah hilang sejak waktu maghrib. Chandra yang sabit, terang dan baru di pertengahannya. Malam yang masih berjalan hingga kegelapan menyambut, dan hari yang buruk ketika bendi telah dibawa Kelarai. 

    "Kau sebagai anggota figuran," kataku, berat. Menahan diri tidak menggigit lidah ketika bendi-satu-satunya peninggalan Bapak ketika aku pulang ke desa-terus memijak bebatuan di jalanan berbatu. Obor yang menyala terang di kampung sepi, rakyat selalu bersembunyi, seolah kampungnya tak berpenghuni. "Barulah melangkah satu kali, langsung engkau mati. Baru kau bersorak bangga, sudah lepas jiwamu dari raga. Mereka punya pistol dan senapan, sedangkan kau hanya punya linggis dan parang."

    "Lalu apa pula upaya yang bisa dilakukan selain melawan?"

    "Diamlah sebagai pribumi yang dermawan"

    "Ha! Omong kosongmu, rupanya."

    Gerimis yang mirip menangis. Kelarai yang kembali fokus mengendarai bendi, mengejekku yang pengecut ini. Sesekali, bercakap-cakap pasal nostalgia masa muda. beserta menyelipkan agenda apa yang akan dilanjutkan ketika sampai di Negeri Jawa. Bumi yang mulai menampakkan cahaya-pantulan chandra, rerumputan bersembunyi di balik bayang-bayang pohonnya. Hanya bayang-bayang, yang persis akan siluet. Bendi yang berjalan, berhenti ketika pelabuhan ada di depan mata Kupikir, akhir telah menanti tepat ketika dengan ragu, kuikuti langkah berani Kelarai. Kagi yang pergi, lari. dari tempat yang telah sulit disebut peristirahatan. Samudera yang diarungi berminggu-minggu, lama hingga sampai pada pelabuhan Jawa. Rasa tidak enak... Negeri besar Jakarta yang dilewati memberikan kenangan yang lampau, keberhasilanku ketika masih menjadi bawahan Penjajah mengawasi langsung kehendak pembangunan mereka- bekerja sambilan sebagai penerjemah buku-buku Eropa. Sekalipun lama menetapkan di Jakarta, selalu panas hawa yang kurasa. Kuusap peluhku ketika panas di sini semakin menyengat Kota besar memang kekurangan anugerah angin kecil yang menyegarkan.

    Sekelompok orang yang menyambut baik kami, bersalaman dengan penuh suka cita. Tiada syak wasangka yang sering dinampakkan orang-orang ketika menatapku sebagai seorang yang disangka bagian dari NICA perwntara persekipu pengkhianatan. Aku yang tiada memakai baju opseter. disalami dengan begitu terimakasih. Kubalas dengan senyuman tanpa kata. menahan sendak dalam tenggorokan yang ingin mengeluarkan napas-rasa sesak akan penyesalan.

    Bumi yang letih, pohonnya tertebang secara perlahan, ataukah bumi yang letih, karena kelelahan akan kerakusan manusia dalam kemenangan peperangan. Kelarai begitu berbangga bergabung dalam kelompok pemuda, pemberontak pembela negara. Sedangkan aku" Hanya mencari cara mengisi hari yang menanti mati. Rapat di kediaman seorang dosen pribumi yang kaya, kuamati sahaja sembari duduk di posisi paling terpencil. Perundingan dan Kelarai terus mengeluarkan usul yang mengagumkan. Kuamati punggung yang berdiri mengeluarkan seluruh argumen Merasa bangga, punya sobat yang besar keinginan kelanjutan hidupnya.

    "Tiadakah tambahan atau koreksi untuk rapat ini?"

    Sementara orang-orang menggeleng, ada sepasang mata yang serasa memincing dari arah utara. Guruku dari sekolali-Cak Vainus. Kupalingkan mukaku ke arah lain.. melihat tembok bata rumah Dosen Profesor dermawan ini Dia mana mungkin nengenali ketika janggutku merayap penuh di pipi da dagu Rapat diakhiri tanpa- sedikitpun campur cakapku tetapi praktek langsung yang diikuti pula olehku

    Rasa tidak enak menghampiri.

    Untuk sesaat, keberanian itu pupus. Kutatap pelabuhan yang sepi dengan kapal di hadapan, sesekali kulirik Kelarai yang begitu sibuk. Ketika mendapat tempat untuk bisa bercakap dengannya lebih leluasa,

    "Bisakah kau berhenti sebelum semua ini dimulai, Kawan? Begitu banyak ladangmu kau tinggalkan di Padang, Sinjai, Kota Sulawesi."

    Ego yang pupus itu ingin sekali kutumbuhkan dalam benaknya. Seorang Idealis yang begitu kokoh pendirian-seperti Kelarai-memiliki jiwa persatuan besar sehingga tetap bergerak sekalipun tidak memiliki kepentingan pada tujuan pemberontakan Bergabung dan bersatu dengan sekelompok orang-orang yang didapatnya dari koneksi pengalaman memberontak-dihukum-memberontak-dihukum, sebagai sokongan gratis memasang badan sekalipun harus mati sia-sia tanpa besar perjuangan

    Setelah terdiam sejurus, terbukalah mulut Kelarai. "Dengan kata apapun kau membujukku, tiadalah akan mau aku kembali ke sana."

    "Ingatlah wasiat Mamakmu, janganlah mati sia-sia"

    "Lupalah kau pesan Mamakku, Liar Mati sebagai pejuang lebih baik daripada mengemban julukan Pribumi yang selalu dituntun." Kelarai hanya melambai kecil pada rekan yang sudah lebih dahulu naik ke kapal, sedangkan aku bergeming tiada tahu harus bagaimana berargumen. "Inginlah aku berdiri sendiri, hasil panen dibeli rakyat negeri untuk kepentingan bersama, penuh sukacita. Bukan dikirim ke negeri dengan harga tiada sepadan-lupakah kau lupa, Liar? Gajimu sebagai Orang Terpandang diturunkan, dibuat sepadan dengan orang-orang baru. Bergabung aku dengan kelompok ini demi kebaikan sobatku pula, Liar!"

    Rautku jelas tidak terima, sekalipun kata-kata Kelara tiada dapat kubantah la selalu menang ketika kuminta dia berhenti, ia selalu membangkang ketika kuajak menjadi pengecut yang dihakimi la selalu menjadikanku patokannya di atas keinginan ingin merdeka tanah lahirnya yang begitu ia jaga

    "Lalu, mengapakah kau peduli? Bukannya kau ikut agar bisa mati""

    Bukan suara Kelarai yang melantunkan kalimat serupa Di mana lebih dahulu Kelarai menginjak awak kapal, kutatap tempat menjulangnya seraya menahan napas lagi-kembali seperti ini. Kalah akan semua hal yang ingin dijaga. Karier, keluarga, kampung halaman, kawan, hilanglah hilang di atas pencetan penjajah. Kapal yang berlabuh selama enam hari-karam, penumpang mati. Pemberontakan sia-sia yang benar kutakuti

    Di dalam pelukan dasar samudera, tiada yang namanya udara ketika hanya pantulan cahaya chandra yang menarik naik air-air menjadi lebih tinggi. Tiadalah air yang keluar ketika pedih dirasa lagi, bahkan diwaktu harusnya berbahagia diriku akan bertukar sapa dengan sanak saudara Kelarai yang tentu telah lebur menjadi abu ingat jelaslah aku, didorong dari kapal ketika sadar Kelarai bahwa ada bom yang mengarah Sobat yang selalu idealis dan memegang janji bahkan pasti begitu bangga ketika bertemu Mamaknya dan Mamakku

    Harapanmu tak terwujud. Sobat. 

    Ketika kusengaja tak meraih sampan, turut menjadi beban dalam kelompok pemberontakan. Kelompok yang memiliki ambisi besar dan berani melawan penindusan-semacam film yang tidak pernah tidak kuamati. Yakinlah, satu-satunya doa setelah kupanjatkan selain meminta kematian-Kelarai di atas awak kapal tiadalah merasa sakit di dunia kekal. Janganlah mengemban sakit karena pemikiran konyolnya terhadap persatuan yang satu kelompok saja bisa menumpas sedunia penjajah penyulut perang.

    Figuran konyol yang mati

    Di akhir hayat yang sakit tak dapat dijelaskan, kusadari lagi posisiku sebagai pecundang. Hanyalah diam ketika ditindas, bergerak dengan aman sebagaimana orang yang hidupnya hanya mau tentram Tiadalah yang patut dibanggakan bahkan menjadi figuran, beban, dalam pemberontakan.

    Bahkan ketika dua sisi bagai tirai hitam tiadalah terbuka melainkan tertutup, tak serta merta rasa penyesalan itu lenyap seketika

    Penulis : Irka Kartika (Juara 2 Lomba Menulis Cerpen DPP HIPPMAS Sinjai) 

    No comments