Refleksi 76 Tahun : Merdeka atau Sakit ?
Opini - Waktu akhirnya berpijak pada bulan kemerdekaan. Agustus, ketika mendengar Indonesia 76 tahun telah merdeka, bayang dalam pikir kembali pada peristiwa 17 Agustus 1945. Dengan sadar, kita tahu bahwa negeri ini merdeka atas dasar kemanusiaan (humanity) dan keadilan (justice), setidaknya itu yang dituliskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bersamaan dengan itu, negeri ini kemudian dipimpin oleh sang Proklamator. Dengan jiwa kepemimpinan yang pemberani dan tegas namun tak otoriter. Gaya kepemimpinan yang disegani banyak orang dan dieluh-eluhkan hingga saat ini. Entah, karena memang begitu adanya, atau karena ia merupakan Presiden pertama jadi wajib hukumnya untuk dihargai.
Kemudian, kepemimpinan diambil alih oleh Bapak Pembangunan. Sosok yang lahir dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dengan gaya kepemimpinan yang khas otoriter itu, harus bayar dengan lebih dari satu juta nyawa warga sipil dan tujuh jendral TNI yang dikenal sebagai Pahlawan Nasional, sangat bertolak belakang dengan dasar kemerdekaan kita. Kemanusiaan.
Pun, menjadi harga yang sangat fantastis untuk 31 tahun membangun infrastruktur dengan konsekuensi diundangkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, sebagai benih yang melahirkan Westernisasi. Padahal dalam waktu bersamaan pemerintah juga giat merazia rambut gondrong, dengan dalih rambut gondrong adalah budaya barat.
Dari kelamnya masa Orde Baru. Negeri ini kemudian kembali terlahir di tandai dengan pecahnya ketuban ibu pertiwi yang dikenal dengan nama Reformasi. Walaupun, sebagian dari kita banyak bertanya, kenapa Reformasi? Bukankah lebih baik Revolusi?. Kalau kita artikan Reformasi adalah merubah sebagian sistem, berarti ada yang masih ingin dipertahankan, secara cepat dapat penulis simpulkan bahwa yang masih bertahan di negeri ini adalah Bapakisme dalam selimut Feodalisme.
Bapakisme adalah praktik hubungan antara pemimpin dan bawahan yang meniru hubungan bapak dan anak. Dengan itu, Bapakisme mengajarkan bahwa yang muda harus taat dan patuh pada yang lebih tua. Ideologi ini tumbuh subur di zaman Soeharto, Soeharto menganggap rakyat adalah anak dan ia adalah bapak yang superior. Sebagai anak, rakyat harus menghormati, bicara yang santun dan tidak boleh menentang kehendak dari bapaknya (Presiden).
Praktik Bapakisme saat ini, bisa ditandai dengan ungkapan yang sangat familiar dalam dunia pendidikan. “kami (dosen/guru) adalah orang tua kalian (mahasiswa/siswa) ketika di kampus/sekolah”. Ungkapan demikian tidak bisa kita anggap biasa saja atau tanpa syarat politis, karena setiap bahasa bisa mengandung makna yang terselubung dan muatan ideologi tertentu.
Tak jauh berbeda dengan bapakisme, untuk mengetahui bahwa negeri ini masih feodalistik, adalah dengan melihat pola perilaku emak-emak yang masih terheran-heran dan sangat terpesona ketika ada anak tukang becak yang lulus jadi Perwira Polisi, ataupun tukang mebel jadi Presiden. Peristiwa demikian sangat di agungkan. Seakan-akan rakyat kecil yang menjadi pejabat pemerintahan adalah sebuah keajaiban yang sangat mustahil terjadi. Itulah mengapa penulis berkesimpulan bahwa, kita masih sangat feodal dalam menjalani kehidupan dan bernegara.
Dengan sekelumit fenomena seperti itu, kita bersyukur masih bisa merasa baik-baik saja. Langkah yang sangat tepat untuk merasa seperti itu, karena memang kita tidak boleh sakit, cukuplah Negara ini saja yang sakit dengan berbagai kebijakan yang komplikasi. kemudian Sederet nawacita menjadi bulir air mata pertanda nawaduka di pelupuk mata.
Lalu, kita lihat saat ini dan mari bertanya. Apa yang merdeka dari kita? Mulut disumpal dengan Lembar Negara bernama UU ITE, karya jalanan dihapus, lalu sang seniman menjadi buron. Disamping itu, buronan Tipikor milyaran rupiah tak kunjung ditemukan. Dengan gagah berpidato dengan balutan pakaian adat, segagah membabat perlindungan terhadap hak masyarakat dan wilayah adat, lalu dengan riang gembira kita sambut kemerdekaan dengan lomba makan krupuk dan lari karung, kurang sakit apa kita?.
Di tengah keadaan yang pelik, masih saja ada yang berbuat delik, korupsi. Lalu minta dibebaskan dari segala tuntutan dengan alasan keluarga telah banyak menanggung beban dan sangat tertekan, pernyataan yang sangat wajar diucapkan oleh pak Juliari Batubara. Karena ia tahu betul bahwa yang paling kasihan dan menderita dari seorang koruptor adalah keluarganya, mereka mendapat sanksi sosial atas sesuatu yang mereka tidak mengerti.
Merdeka atau Sakit? Ya, pastilah kita merdeka, itu ditandai dengan pagi tadi kita melaksanakan Upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih, dan seantero Nusantara serentak menyanyikan lagu kebangsaan dengan penuh semangat. Lalu setelahnya, disusul dengan penyerahan hadiah lomba makan krupuk dan lari karung. Perlahan perayaan telah usai, kita kembali gagap untuk bersuara, jemari dipaksa diam tak berkarya dan awan hitam menggumpal dilangit Kalimantan, Papua dan sebagainya.
Kita memang merdeka. Meski, Merdeka kita hanya sebatas romantisme sejarah. Namun, setidaknya kita merdeka dan masih baik-baik saja toh, meski dipaksakan begitu. Kita mesti sekreatif mungkin dalam berekonomi, agar ekonomi tumbuh 7% dan kita pula harus sadar bahwa, kita tidak boleh kreatif dalam hal menyampaikan pendapat dan kritik, meskipun kita ini negara yang sangatlah demokratis. Itu ditandai dengan, pandemi belum usai, 2024 sudah dimulai.
Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-76 Tahun, Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh. Ya, kita memang harus tangguh dalam situasi yang darurat ini, karena ekonomi kita tumbuh 7% dan indeks demokrasi kita menurun. Sebenarnya kita ini sudah sangat kronis, namun sengaja di diagnosa flu, agar reaktif Covid19.
Walaupun fisik dibatasi dalam berkegiatan tulah CoronaVirus, namun lisan yang dilangitkan tak pernah berbatas. Tak ada yang lebih menguatkan dari doa dan harapan. Dengan itu, Bangunlah, lalu berharaplah, sembari tunaikan doa pada langit. Semoga anak kedua dari Ibu Pertiwi lahir dengan nama Revolusi. Kita semua Berharap.
Penulis : Fadillah Dharma Wijaya (Vigilante)
No comments