Di Konoha : "Rakyat Menolak Lupa"
OPINI - Awalnya kehidupan manusia dimulai dari keluarga, kemudian terus berkembang menjadi kelompok-kelompok masyarakat Hukum tertentu/suku. Kepala suku yang semula berkuasa dimasyarakat, kemudian mengadakan ekspansi dengan menaklukan suku lain. Hal ini mengakibatkan berubahnya fungsi kepala suku dari primus interparest menjadi seorang raja.
Akan tetapi, raja yang memerintah menjalankan kekuasaan secara absolute dengan sistem yang otoriter. Kemudian timbul kesadaran akan adanya kedaulatan di tangan rakyat yakni Demokrasi “Dari rakyat, Oleh rakyat dan Untuk rakyat”. Namun pemerintahan yang dipilih oleh rakyat secara Demokratis berubah menjadi pemerintahan yang diktator, seperti pemerintahan di Konoha.
Konoha adalah negara yang di proklamirkan oleh Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah bangkit dari penjajahan selama 350 tahun oleh belanda. Berdirinya Konoha sebagai negara, kemudian menjadikan pancasila dan undang-undang 1945 sebagai dasar bernegara. Sayangnya Pancasila dan undang-undang dasar 1945 tidak sepenuhnya jadi acuan pemerintah dalam menjalankan kekuasaan. Banyak peristiwa kelam yang tercatat sepanjang sejarah berdirinya konoha sebagai negara.
Peristiwa PKI 30 september 1965
Pada tahun 1965 telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota maupun terlibat dengan partai komunis indonesia (PKI). Akibatnya, lebih dari 2 juta orang mengalami penangkapan sewenang-wenang, penangkapan tanpa prosesi hukum, penyiksaan, pemerkosaan, kekerasan seksual, kerja paksa, pembunuhan dan penghilangan secara paksa. Dari hasil penyelidikan Komnas HAM, sekitar 32.774 orang diketahui telah hilang dan beberapa tempat diketahui menjadi lokasi pembantaian para korban.
Sementara beberapa riset menyatakan bahwa korban lebih dari 2 juta orang. Tidak hanya korban, keluarga korban pun turut mengalami diskriminasi atas tuduhan sebagai keluarga PKI. Selain harus kehilangan pekerjaan, banyak diantaranya yang tidak bisa melanjutkan pendidikan, dikucilkan dari lingkungan hingga kesulitan untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Pada tahun 2008, Komnas HAM membentuk Tim Penyelidikan Pro Justicia untuk Peristiwa 1965. Selama lebih dari 4 tahun bekerja, Komnas HAM telah memeriksa sebanyak 349 saksi korban dan mengunjungi lokasi-lokasi yang diduga menjadi tempat penahanan. Pada 23 Juli 2012 lalu, Tim Penyelidik Pro Justicia Komnas HAM mengumumkan hasil penyelidikannya dan menyatakan terdapat dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965.
Komnas HAM merekomendasikan dua hal yaitu meminta Jaksa Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan dan dapat juga diselesaikan melalui mekanisme non yudisial.
Selain itu pada tahun 2015, para korban dan keluarga korban serta pendamping telah membawa peristiwa 65 ke mekanisme internasional melalui, International People Tribunal di Den Haag yang pada putusannya meminta pemerintah konoha untuk segera meminta maaf dan juga segera melakukan proses penyidikan dan mengadili semua kasus-kasus kejahatan terhadap pelanggaran HAM di Konoha.
Di tahun yang sama, Pemerintah Konoha mengadakan simposium nasional 65 di Hotel Arya Duta yang diinisiasi oleh Menko Polhukam saat itu, Luhut Binsar Panjaitan. Simposium ini tidak lebih adalah upaya pemerintah untuk membuat forum tandingan yang beberapa keputusannya bertolak belakang dengan hasil rekomendasi IPT. Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa negara tidak perlu meminta maaf atas peristiwa 65 karena korban dari pihak tentara juga banyak.
Kini, peristiwa 65 sudah memasuki tahun yang ke-56, tetapi Negara belum juga mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk memberikan keadilan terhadap para korban. Selain kemandekan pada proses hukumnya, hak-hak pemulihan yang seharusnya diterima korban juga tidak kunjung diupayakan secara maksimal. Kondisi ini menjadikan korban harus menderita selama masa hidupnya, mengingat sudah banyak korban yang meninggal dunia karena sudah lanjut usia.
Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984
Peristiwa Tanjung Priok adalah salah satu dari tiga kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang berhasil dibawa ke proses pengadilan. Pengadilan HAM ad hoc tingkat pertama memutus bersalah terdakwa pelaku pelanggar HAM, sekaligus memerintahkan negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dalam bentuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Namun para terdakwa melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi dan berhasil lolos dari jeratan hukum pidana karena diputus bebas oleh pengadilan. Putusan bebas tersebut juga sekaligus menggugurkan kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dalam bentuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Hingga saat ini korban Peristiwa Tanjung Priok belum mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi karena putusan pengadilan belum bisa dieksekusi. Atas hal itu, korban telah berusaha meminta kepada Mahkamah Agung supaya mengeluarkan putusan yang memerintahkan negara supaya memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Namun hal itu mendapat penolakan, hingga akhirnya saat ini korban sedang berusaha meminta dukungan dari anggota DPR supaya negara memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban Tanjung Priok.
Namun hambatan yang kemudian muncul adalah negara tidak pernah memiliki arah kebijakan yang berpihak kepada koran untuk memberikan rasa keadilan dalam bentuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Hingga hari ini korban pelanggaran HAM Tanjung Priok masih belum merasakan pertanggungjawaban dari negara.
Peristiwa Semanggi II 24-28 September 1999
Saat maraknya aksi-aksi mahasiswa menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan tuntutan mencabut dwi fungsi ABRI. Peristiwa ini juga terjadi di beberapa derah seperti Lampung, Medan dan beberapa kota lainnya.
Aksi-aksi tersebut mendapat represi oleh ABRI (TNI) sehingga mengakibatkan jatuh korban antara lain, Yap Yun Hap (FT UI), Zainal Abidin, Teja Sukmana, M Nuh Ichsan, Salim Jumadoi, Fadly, Deny Julian, Yusuf Rizal (UNILA), Saidatul Fitria dan Meyer Ardiansyah (IBA Palembang). Tim Relawan Kemanusiaan mencatat 11 orang meninggal dan luka-luka 217 orang dalam peristiwa tersebut. Yang sampai hari ini belum juga mendapat titik terang dari pemerintah konoha.
Peristiwa Pembunuhan Munir Said Thalib – 7 September 2004
Konspirasi pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir Said Thalib hingga saat ini masih menjadi perbicangan. Negara hanya menghukum pelaku lapangan tanpa menyentuh aktor intelektual. Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah selesai bekerja, namun hingga saat ini dokumen TPF tersebut tidak kunjung dibuka ke publik.
Pada tahun 2016, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan nomor register 025/IV/KIP-PS-2016. Dalam gugatan tersebut Pengadilan KIP mengabulkan permohonan KONTRAS dan memerintahkan Kementerian Sekretariat Negara (KEMENSESNEG) untuk membuka dokumen TPF pembunuhan Munir Said Thalib.
Namun putusan tersebut tidak membuat KEMENSESNEG membuka dokumen TPF tersebut, melainkan melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Upaya hukum tersebut pun dimenangkan oleh KEMENSESNEG dan sekaligus tidak memiliki kewajiban hukum membuka dokumen TPF Munir.
Menanggapi hal tersebut, KONTRAS selanjutnya melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung, namun upaya hukum tersebut harus mentah karena pengadilan menolak permohonan Kontras pada tahun 2017. Perjuangan dalam mencari keadilan hingga saat ini masih terus diupayakan oleh KONTRAS dengan mempersiapkan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK).
Di sisi lain, Presiden Jokowi mengklaim bahwa dokumen TPF Munir tidak ada di kantor Kemensesneg. Dokumen TPF tersebut disimpan dan berada pada pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menanggapi hal itu, mantan Presiden SBY mengkalim bahwa dokumen TPF Munir berada di kantor KEMENSESNEG.
Dokumen TPF Munir tidak kunjung dingkap karena bisa saja menyangkut kepentingan politik para penguasa. Mengingat nama pejabat yang kemudian diduga terlibat dalam konspirasi pembunuhan Munir adalah Muchdi Purwoprandjono mantan Deputi V Badan Intelejen Negara (BIN).
Hal tersebut membuat para pejabat saling melindungi kepentingan sehingga tidak berani membuka isi dokumen TPF Munir ke publik. Saat ini, peristiwa Munir akan memasuki masa kadaluwarsa, Negara belum juga mampu untuk menemukan aktor intelektual dibalik peristiwa pembunuhan tersebut.
Reformasi Dikorupsi 24 September 2019
Dimulai sejak 23 September 2019 di berbagai kota besar di Konoha antara lain, Malang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Palembang, Medan, Semarang, Bandung, Denpasar, Kendari, Tarakan, Samarinda, Banda Aceh, Palu dan Jakarta, berakhir dengan aksi brutal dan represif dari aparat dengan menembakkan gas air mata, meriam air bahkan peluru karet.
Di makassar sendiri ditemukan selongsong-selongsong gas air mata kadaluarsa. Tak hanya itu, para demonstran diburu hingga ke dalam rumah makan, pemukiman masyarakat, dan rumah ibadah.
Aksi nasional dengan 7 Desakan yang mempersatukan berbagai macam elemen mulai dari mahasiswa, buruh, tani, nelayan, dan pelajar dilawan dengan aksi brutal dan kekerasan oleh aparat keamanan dengan penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau berlebihan (unnecessary or excessive use of force).
Dampak dari kebrutalan tersebut menjadikan 5 orang masa aksi meninggal dunia, diantaranya Immawan Randi dan Yusuf Kardawi mahasiswa Universitas Halu Oleo, pemuda asal Tanah Abang Maulana Suryadi, serta dua pelajar Akbar Alamsyah dan Bagus Putra Mahendra. Belum terhitung yang terluka.
Akar masalah dari berbagai unjuk rasa ini adalah diterbitkannya berbagai undang-undang/maupun rancangan Undang-Undang kontroversial yang bermasalah oleh Pemerintah dan DPR. Ketika masyarakat sebagai pemilik kedaulatan menunjukkan ketidaksetujuannya secara terbuka justru dibalas oleh negara melalui aparat penegak hukumnya dengan tindakan yang brutal. Agar perlawanan warga padam sehingga negara dapat dengan leluasa mengeluarkan aturan dan kebijakan yang bertentangan dengan nalar publik tersebut.
Kebrutalan aparat yang tak berprikemanusiaan sengaja dipertontonkan dimuka publik tanpa ditindak oleh lembaga hukum yang mempunyai wewenang dalam mengadili tindakan aparat yang represif terhadap masyarakat. Sehingga memunculkan stigma buruk bahwa kekuasaan di Konoha saling mengorganisir atau saling melindungi antara pemerintah dan aparatur negara yang kemudian akan menjauhkan rasa keadilan dan kemanusiaan.
Masih banyak peristiwa -peristiwa kelam yang terjadi di Konoha, seperti Pembunuhan dan Pemerkosaan Marsinah, Penculikan Wiji Tukul, peristiwa Trisakti, penculikan Aktivis dan banyak lagi. yang kemudian belum menemui titik terang. Peristiwa diatas sebagai contoh atas kekejaman Konoha terhadap rakyatnya.
Suara minor teriakan kebenaran dihilangkan paksa dan tak segan untuk dibunuh secara tragis, sedangkan suara mayor teriakan kebohongan dibiarkan berlalu lalang dan menikmati fasilitas hanya sebatas Foya-Foya.
#MenolakLupa!!!
Penulis : Hasan Basri S. (Mahasiswa Ilmu Hukum Angkatan 2018)
No comments