Sun Go Kong Mencari Kitab Suci Agraria Part II
OPINI - Entah angin apa yang bawa kami malam itu hingga bisa sampai di salah satu desa di Tanah Turatea, Desa Rumbia. Ya, salah satu daerah penghasil kopi di kaki Gunung Lompobattang dengan keindahan pemandangan pegunungannya.
Sebenarnya, beberapa kawan kawan dari HMJ Ilmu Hukum telah menunggui kami di posko yang telah disiapkan warga desa setempat. Jadi, tidak perlu salahkan angin hahaha. Tujuan kami datang ke Desa Rumbia ini hendak melakukan penyuluhan hukum.
Aku dan 2 orang kawanku tiba di posko Desa Rumbia sekitaran jam 10 malam dengan mengendarai 2 sepeda motor. Dalam posko dari bahan kayu itu yang berbentuk rumah panggung sebagaimana kebanyakan rumah di daerah Jeneponto, kami disambut dengan suguhan kopi. Walau bukan kopi asli dari Rumbia yang aku harapkan. Namun, setidaknya perjamuan malam itu cukup hangat di wilayah tanah tinggi Desa Rumbia.
Setelahnya kami menyusun rencana bagaimana tehnis penyuluhan hukum untuk hari esok. Sekitar 60 manusia dalam posko tersebut berpartisipasi dalam penyusunan rencana hari esok, mereka mendengarkan, mereka berbicara, mereka juga tertidur. Agak santai memang tapi pembahasan cukup padat. Disepakatilah untuk memulai pada pukul 07.00 dilaksanakan dari rumah ke rumah lain.
Memulai sesuatu di pagi hari apalagi pukul 7 pagi memang menjadi hal utopis. Sebagian sudah sadar dari tidur lelapnya, sebagian lagi masih nyaman dengan tempat tidurnya. Belum lagi kendala tehnis serta administratif yang kami perlu kami siapkan. Ah, ini mungkin sebab dari kami yang terkesan santai malam itu hingga lupa mempersiapkan hal hal seperti ini. Alhasil untuk mengisi waktu kosong tersebut kami mengisinya dengan diskusi ringan. Kopi panas dan biskuit ransum menjadi penghias diskusi kami pada pagi hari itu di Tanah yang terkenal dengan kuliner Gantala-nya ini.
Pada pembahasan agraria yang kami wacanakan ini, beberapa kawan mengemukakan permasalahan permasalahan agraria di daerahnya masing masing. Mulai dari sengketa pada tanah wakaf sampai dengan penyorobotan lahan dikemukakan oleh kawan kawan pada pagi itu. Sarapan yang cukup berat...
Dari sebagian besar masalah yang diceritakan kawan kawan yang ada, selalu didapati Negara dalam hal ini pemerintah sebagai pihak yang digugat. Terlebih ketika pada permasalahan tanah wakaf. Ada maladiministrasi dalam proses pewakafan tanah sehingga memunculkan polemik di waktu kemudian. Ini memang telah menjadi penyakit dalam ranah birokrasi di Indonesia, budaya self-yourself yang disebut Tan Malaka sebagai proses yang hanya mementingkan diri sendiri sehingga memunculkan sifat malas pada penyelenggara negara akhirnya tidak dapat menyelesaikan pekerjaan yang menjadi bagian fundamental dalam ranah administratif.
Hari itu Jeneponto diguyur hujan, hingga malam hari. Padahal menurut penuturan warga setempat seharusnya waktu saat ini adalah waktu kemarau. Cuaca memang sulit ditebak seperti kamu. Selepas hujan, kami akhirnya berkesempatan untuk bertemu dengan masyarakat. Aku bersama 4 orang kawan lainnya menyambangi rumah, suasana mendung setelah hujan memang cukup hangat diperbincangkan juga untuk memancing pembicaraan dengan warga lokal disana.
Ibu yang kami temui malam itu bercerita tentang apapun yang bisa ia ceritakan. Mulai dari 2 anaknya, sekolah anak anaknya, kegemaran anak anaknya, makanan kesukaan anak anaknya, yah kebanyakan soalnya anaknya. Naluri seorang ibu memang. Hingga akhirnya ia bercerita soal tanahnya. Pekerjaan suami ibu tersebut adalah penggiling padi. Namun, mereka memiliki beberapa petak tanah. Sayangnya, sertifikat tanah katanya diambil alih oleh aparat desa dengan dalih tanah induk katanya.
Ketika ditanya soal tanah induk ibu itu tidak tau apa apa mengenai hal tersebut. "Biar kepala desa yang urus" katanya sambil tertawa kecil.
Seringkali status tanah yang ada beraneka ragam, mulai dari tanah girik, tanah yang sudah memiliki HGB (SHGB) dan hak milik (SHM), hingga tanah yang bahkan belum dilengkapi dokumen. Setelah membeli semua tanah itu, kemudian disertifikatkan atas nama developer dengan status HGB. Itu kemudian yang disebut tanah induk.
Rawan perampasan memang ketika ada unsur ketidaktahuan dari pemilik tanah akan hal seperti itu. Memang beberapa orang yang ditemui masih tunaaksara.
Setidaknya ada 2 hal yang dihadapi dalam persoalan agraria dan pertanahan
Pertama : Akses akan informasi
Kedua : Akses terhadap birokrasi
Beberapa warga yang kami temui itu masih tidak paham dengan mengapa mereka memerlukan sertifikat tanah dan tidak menyadari pentingnya sertifikat. Sebenarnya hal ini menjadi tupoksi aparat desa memberikan sosialisasi dan pemahaman terhadap masyarakatnya. Namun, sayang. Jalankan informasi yang mumpuni, seringkali kantor desa hanya menjadi penghias bahkan ketika melakukan pengurusan dibuat ribet. Kegagalan dalam mengakses kedua hal tersebut rawan menyebabkan penyerobotan lahan.
Jika kembali mengenang sejarah yang ada, membandingkan revolusi petani dengan revolusi intelektual, maka bisalah kita mengatakan revolusi oleh petani lebih efektif mengangkat perekonomian petani dan program agraria yang ada. Kepemilikan atas alat produksi menjadi sebuah bahasa yang digaungkan dalam revolusi tersebut. Sedangkan revolusi intelektual yang sebagian besar diinisiasi oleh mahasiswa hanya menghasilkan pergantian kepemimpinan. Lebih mirip reformasi.
Masalah keduanya sebenarnya hanya satu : PENDIDIKAN
Sayangnya pendidikan di Indonesia hanya sampai pada tahap mengindustrialisasi manusia. Pada tahapan pendidikan menurut Paulo Freire kita belum bisa sampai pada tahapan kesadaran kritis.
Tanah di Indonesia sebenarnya kaya, namun agar kekuasaan terus langgeng maka pendidikan perlu disampingkan. Kurang lebih mungkin seperti itu.
Membayangkan masyarakat sejahtera di Indonesia memang utopis.
Penulis : Muh. Ian Hidayat Anwar (Mahasiswa Ilmu Hukum Angkatan 2018)
No comments