• Breaking News

    ⚖️ Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu hukum 𝐄𝐪𝐮𝐮𝐦 𝐞𝐭 𝐛𝐨𝐧𝐮𝐦 𝐞𝐬𝐭 𝐥𝐞𝐱 𝐥𝐞𝐠𝐮𝐦 ⚖️ Fakultas Syariah dan Hukum, Uin Alauddin Makassar ⚖️

    Ketika Manusia Ditundukkan Keserakahan

     

    Gambar : Foto Monokrom Ira Mayasari

    Opini - Manusia itu serakah. pandangan ini berlaku secara universal dan jelas tak ter-pungkiri. Serakah merupakan satu dari banyaknya penyakit hati. Mereka selalu menginginkan lebih banyak, tidak peduli apakah cara yang ditempuh itu dibenarkan oleh syariah atau tidak, apakah harus mengorbankan kehormatan orang lain atau tidak, yang penting kebutuhan nafsu syahwatnya terpenuhi. Bila manusia sudah dikuasai oleh nafsu-nafsu liar maka lahir lah individu-individu yang kurang bersyukur dan sering merasa kekurangan yang kemudian terjerumus oleh nilai-nilai semu.

    Di dalam Al-Quran telah mendefinisikan sifat serakah yang terdapat dalam Q.S. Al-Adiyat ayat 6-8 “Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, (tidak bersyukur) kepada Tuhannya, dan sesungguhnya dia (manusia) menyaksikan (mengakui) keingkarannya, dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.

    Ketika manusia sudah digerogoti keserakahan maka timbul nafsu dan keinginan yang relatif tidak terbatas. Pandangan budayawan asal Indonesia Radhar Panca Dahana melalui gagasan “ekonomi cukup”. Dimana seharusnya manusia tidak lagi mengeksploitasi diri dan nafsunya sendiri juga lingkungannya, sekedar untuk menimbun pundi-pundi kekayaannya. Melainkan ia harus mengeksplorasi potensi atau kemungkinan terbaiknya untuk memenuhi keperluan nya sebagai manusia, secukupnya saja. 

    Kebahagiaan itu identik dengan kekayaan. Banyak kemudian yang berlomba-lomba menjadi kaya raya. Ada yang berusaha dengan kerja kerasnya dan ada juga yang instan, pelaku Tindak Pidana Korupsi (TiPiKor) misalnya. Dalam perspektif hukum positif di Indonesia tindak pidana korupsi digolongkan dalam tindak pidana khusus dan dirumuskan ke dalam 7 bentuk/jenis tindak pidana korupsi diantaranya kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Lebih spesifiknya diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,yang menjelaskan arti dari perbuatan korupsi sebagai berikut: Setiap orang yang secara melawan hukum memakai perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu substansi usaha yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana kurungan selama 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000,00 dan pembatasan sebesar Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    Kasus korupsi di Indonesia sangat tinggi, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mencatat telah menerima 2.173 laporan dugaan tindak pidana korupsi pada tahun 2022. Korupsi adalah masalah yang sudah mendarah daging di negeri ini, bahkan levelnya sudah mencapai ke level universal. PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mencatat setiap tahunnya $ 2,6 triliun hilang akibat korupsi. Angka tersebut setara dengan 5% PDB (Pendapatan Domisili Bruto) global. Hilangnya angka 5% tersebut memiliki implikasi langsung terhadap penurunan kualitas pendidikan, kesehatan, demokrasi, kemakmuran, keadilan, serta pembangunan di setiap negara.

    Korupsi sendiri telah lama menjadi benalu pada aspek kehidupan sekarang ini, mulai dari aspek kehidupan sosial, politik, birokrasi, ekonomi, standar moral dan intelektual masyarakat. Tentunya hal ini memicu sikap individu menjadi sikap yang hanya mementingkan dirinya di atas segala sesuatu dan hanya memikirkan dirinya semata.

    Kemudian banyak dari orang yang bertanya, sebenarnya apa sih upaya pemerintah dalam menangani kasus-kasus korupsi? mengapa korupsi masih menjadi kejahatan yang paling banyak dilakukan di negara kita ini ? kenapa kasus-kasus KKN tidak ada habisnya ? pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang sering dijumpai oleh saya pribadi.
    Jika saya mendapat pertanyaan seperti itu saya hanya menjawab ketika kita masih mengandalkan aparat-aparat pemerintah atau proses penegakan hukum itu tidak cukup. Mengapa demikian ? karena pemberantasan korupsi harus ditangani secara kolektif dengan membangun persepsi bahwa korupsi adalah musuh kita bersama, benalu yang harus segera di hempaskan di negeri kita. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) oleh karena itu juga memerlukan upaya yang luar biasa untuk memberantas akar-akar kecil dari masalah korupsi ini.

    Selanjutnya persoalan korupsi ini bisa lebih ditekan dengan alternatif yang mungkin sebagai tindakan preventif. Tindakan preventif yang dimaksud disini adalah pemahaman korupsi lebih mendalam dengan memberikan pembelajaran anti korupsi melalui lembaga pendidikan dan lingkungan sekitar seperti keluarga. Keluarga merupakan madrasah pertama bagi seorang anak untuk memahami mana yang salah dan mana yang benar, mana milikmu dan mana bukan milikmu. Selanjutnya masyarakat harus proaktif menanamkan nilai-nilai kejujuran, melakukan pengawasan, dan melakukan kontrol serta pelaporan sebagai upaya pencegahan. Selain itu kita sebagai masyarakat harus terus mendukung aparat pemerintah dalam hal ini KPK dalam perjuangannya memberantas akar-akar korupsi, minimal kita bantu menyuarakan sekaligus melawan tindakan-tindakan korupsi dan mengurangi terciptanya manusia-manusia serakah atau koruptor di negara tercinta kita ini.

    Kita semua generasi-generasi selanjutnya punya hak dan peran dalam pencegahan tipikor, bukan hanya pemerintah. Kita hanya perlu membangun lebih hak dan peran kita apalagi sebagai mahasiswa yang merupakan pemegang tongkat estafet penerus bangsa Indonesia. Mari mewujudkan bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan bebas korupsi.

    “Rezeki yang sedikit menjadi banyak jika qana’ah. Rezeki yang banyak menjadi sangat sedikit jika serakah” (Al-Mahfudzot). 

    Penulis : Ira Mayasari (Mahasiswa Ilmu Hukum Angkatan 2021)

    No comments