PRABOWO SUBIANTO DAN MISTERI HILANGNYA AKTIVIS PRODEMOKRASI 1997/1998
Opini - Pada periode
1997/1998. Di tengah-tengah teriakan semangat Reformasi yang dibaluti dengan
aroma aspal panas dan gas air mata di jalanan, ada suara suara yang kian
lenyap. Bukan karena bibir dan lidah mereka Lelah, tetapi karena tubuh mereka
benar-benar menghilang dari rumah, kampus, sekretariat, dan tempat-tempat
mereka bersua.
Sejumlah 23 aktivis prodemokrasi diculik dalam rentetan waktu 1997-1998. Sembilan
orang diantaranya kembali dalam kondisi trauma berat akibat penyiksaan yang
dialami dan berimplikasi pada kesehatan mental mereka, satu ditemukan tewas
(Leonardus Nugroho), dan 13 nama lainnya masih belum jelas nasib dan
keberadaannya sampai sekarang.
Berdasarkan
hasil penyelidikan dari Komnas HAM, menyatakan bahwa kasus penculikan terhadap
sejumlah aktivis ini telah memenuhi unsur Pelaanggaran HAM berat, karena
ditujukan langsung pada masyarakat sipil dan melibatkan aparat negara,
khususnya dalam bentuk penghilangan paksa. Lebih lanjut Komnas HAM telah
merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc sebagai sarana guna untuk
menyelesaikan kasus ini hingga tuntas. Kendati demikian, wacana mengenai
pembentukan Pengadilan Ad Hoc ini tak pernah terealisasikan. Ada beberapa
faktor, diantaranya ialah pebedaan penafsiran dalam penanganan serta kurangnya
keseriusan politik pemerintah dalam kasus ini. Akibatnya, keluarga korban terus
menunggu jawaban, sementara publik seolah diajak untu melupakan. Masihkah ada
harapan?
Keterlibatan
beberapa nama besar yang muncul dalam banyak laporan resmi maupun catatan
masyarakat sipil, diantaranya adalah Prabowo Subianto yang kala itu menjabat
sebagai Danjen kopassus dan turut serta dalam pembentukan tim mawar patut
dimintai pertanggung jawaban. Kini, ia
menduduki posisi sentral dipemerintahan sebagai Presiden Indonesia ke-8
sekaligus Presiden ke-3 yang berlatar belakang militer. Ironis, sosok yang
Namanya kerap dikaitkan sebagai dalang dari aksi penculikan justru menjadi
pemimpin hari ini. Pertanyaannya
sederhana, apakah bangsa ini sungguh peduli dengan keadilan, ataukah justru
telah terbiasa berdamai dengan praktik impunitas? Entahlah, negara terkesan
abai.
Kasus
penghilangan paksa bukan sekedar catatan kelam di masa lalu, ia adalah
peringatan keras bahwa pemerintah dan aparat bisa saja kembali menggunakan
otoritasnya untuk bertindak sewenang-wenang bila keadilan tak ditegakkan.
Demokrasipun lambat laun kian rapuh bila ia dibangun diatas pondasi impunitas.
Reformasi
yang digemakan selama dua dekade terakhir tak akan pernah tuntas bilamana kasus
ini tidak terselesaikan. Negara punya kewajiban moral dan hukum untuk
mengungkap nasib 13 aktivis yang masih hilang, lalu menyeret pelaku ke
pengadilan serta memberikan kompensasi dan memulihkan hak kepada aktivis yang
selamat maupun keluarga korban. Tanpa itu, demokrasi tidak lebih sekadar
jargon-jargon yang berseliweran di tengah-tengah masyarakat.
Hilangnya para pejuang prodemokrasi adalah
ujian moral terbesar bangsa ini. Jika kita membiarkannya terkubur dalam diam,
maka yang benar-benar hilang bukan hanya mereka, melainkan juga nurani bangsa
yang pernah berjanji setia pada reformasi.
Orang yang menutup mata dengan sejarah, niscaya buta akan masa depan. Terangi
negeri dengan literasi, satu buku sudah mampu membuka ribuan mimpi, dari kata
ke-nyata.
Penulis : Muammar Khadafi Kamil (Sekretaris Bidang Keilmuan HMJ Ilmu Hukum 2025)

No comments