• Breaking News

    ⚖️ Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu hukum 𝐄𝐪𝐮𝐮𝐦 𝐞𝐭 𝐛𝐨𝐧𝐮𝐦 𝐞𝐬𝐭 𝐥𝐞𝐱 𝐥𝐞𝐠𝐮𝐦 ⚖️ Fakultas Syariah dan Hukum, Uin Alauddin Makassar ⚖️

    PRABOWO SUBIANTO DAN MISTERI HILANGNYA AKTIVIS PRODEMOKRASI 1997/1998

    Gambar : Muammar Khadafi Kamil

    Opini Pada periode 1997/1998. Di tengah-tengah teriakan semangat Reformasi yang dibaluti dengan aroma aspal panas dan gas air mata di jalanan, ada suara suara yang kian lenyap. Bukan karena bibir dan lidah mereka Lelah, tetapi karena tubuh mereka benar-benar menghilang dari rumah, kampus, sekretariat, dan tempat-tempat mereka bersua.

    Sejumlah 23 aktivis prodemokrasi  diculik dalam rentetan waktu 1997-1998. Sembilan orang diantaranya kembali dalam kondisi trauma berat akibat penyiksaan yang dialami dan berimplikasi pada kesehatan mental mereka, satu ditemukan tewas (Leonardus Nugroho), dan 13 nama lainnya masih belum jelas nasib dan keberadaannya sampai sekarang.

    Berdasarkan hasil penyelidikan dari Komnas HAM, menyatakan bahwa kasus penculikan terhadap sejumlah aktivis ini telah memenuhi unsur Pelaanggaran HAM berat, karena ditujukan langsung pada masyarakat sipil dan melibatkan aparat negara, khususnya dalam bentuk penghilangan paksa. Lebih lanjut Komnas HAM telah merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc sebagai sarana guna untuk menyelesaikan kasus ini hingga tuntas. Kendati demikian, wacana mengenai pembentukan Pengadilan Ad Hoc ini tak pernah terealisasikan. Ada beberapa faktor, diantaranya ialah pebedaan penafsiran dalam penanganan serta kurangnya keseriusan politik pemerintah dalam kasus ini. Akibatnya, keluarga korban terus menunggu jawaban, sementara publik seolah diajak untu melupakan. Masihkah ada harapan?

    Keterlibatan beberapa nama besar yang muncul dalam banyak laporan resmi maupun catatan masyarakat sipil, diantaranya adalah Prabowo Subianto yang kala itu menjabat sebagai Danjen kopassus dan turut serta dalam pembentukan tim mawar patut dimintai pertanggung jawaban. Kini, ia menduduki posisi sentral dipemerintahan sebagai Presiden Indonesia ke-8 sekaligus Presiden ke-3 yang berlatar belakang militer. Ironis, sosok yang Namanya kerap dikaitkan sebagai dalang dari aksi penculikan justru menjadi pemimpin  hari ini. Pertanyaannya sederhana, apakah bangsa ini sungguh peduli dengan keadilan, ataukah justru telah terbiasa berdamai dengan praktik impunitas? Entahlah, negara terkesan abai.

    Kasus penghilangan paksa bukan sekedar catatan kelam di masa lalu, ia adalah peringatan keras bahwa pemerintah dan aparat bisa saja kembali menggunakan otoritasnya untuk bertindak sewenang-wenang bila keadilan tak ditegakkan. Demokrasipun lambat laun kian rapuh bila ia dibangun diatas pondasi impunitas.

    Reformasi yang digemakan selama dua dekade terakhir tak akan pernah tuntas bilamana kasus ini tidak terselesaikan. Negara punya kewajiban moral dan hukum untuk mengungkap nasib 13 aktivis yang masih hilang, lalu menyeret pelaku ke pengadilan serta memberikan kompensasi dan memulihkan hak kepada aktivis yang selamat maupun keluarga korban. Tanpa itu, demokrasi tidak lebih sekadar jargon-jargon yang berseliweran di tengah-tengah masyarakat.

    Hilangnya para pejuang prodemokrasi adalah ujian moral terbesar bangsa ini. Jika kita membiarkannya terkubur dalam diam, maka yang benar-benar hilang bukan hanya mereka, melainkan juga nurani bangsa yang pernah berjanji setia pada reformasi.

    Orang yang menutup mata dengan sejarah, niscaya  buta akan masa depan. Terangi negeri dengan literasi, satu buku sudah mampu membuka ribuan mimpi, dari kata ke-nyata.

    Penulis : Muammar Khadafi Kamil (Sekretaris Bidang Keilmuan HMJ Ilmu Hukum 2025)

    No comments