• Breaking News

    ⚖️ Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu hukum 𝐄𝐪𝐮𝐮𝐦 𝐞𝐭 𝐛𝐨𝐧𝐮𝐦 𝐞𝐬𝐭 𝐥𝐞𝐱 𝐥𝐞𝐠𝐮𝐦 ⚖️ Fakultas Syariah dan Hukum, Uin Alauddin Makassar ⚖️

    Mahasiswa Berlari, Sistem Menghambat: Ironi Pendidikan Tinggi.

    Gambar: Hmj Ilmu Hukum

    Opini - Di dalam kampus, waktu sering kali tidak berjalan dengan kecepatan yang sama bagi semua orang. Ada mahasiswa yang memang terlambat karena kelalaiannya sendiri, menunda, malas, tidak disiplin, dan abai terhadap tanggung jawab akademik. Itu fakta yang tidak bisa dibantah. Namun, menyederhanakan semua keterlambatan studi mahasiswa sebagai kesalahan pribadi adalah bentuk ketidakjujuran intelektual. Sebab ada juga mahasiswa yang justru berlari, tetapi tetap terlihat berjalan.

    Mereka hadir tepat waktu, mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh, mengurus administrasi sejak jauh hari, dan berusaha menyelesaikan studi secepat mungkin. Namun, alih-alih diapresiasi, mereka justru terjebak dalam sistem birokrasi kampus yang lambat, berlapis, dan sering kali tidak sensitif terhadap waktu mahasiswa.

    Keterlambatan itu bukan karena kurangnya usaha, melainkan karena proses yang sengaja atau tidak sengaja dibuat bertele-tele.

    Tidak jarang mahasiswa harus menunggu berminggu-minggu hanya untuk satu tanda tangan, satu validasi data, atau satu persetujuan dosen. Lebih ironis lagi, penundaan tersebut sering dibungkus dengan alasan yang terdengar wajar "rapat, sedang sibuk, nanti saja, atau minggu depan". Padahal, bagi mahasiswa, satu minggu bisa berarti tertundanya satu tahap akademik yang berdampak panjang pada pendaftaran ujian, yudisium, hingga kelulusan.

    Yang sering dilupakan adalah satu hal mendasar, perkuliahan tidak sepenuhnya gratis.

    Banyak mahasiswa membayar pendidikan mereka dari semester pertama hingga semester terakhir. Setiap semester bukan sekadar angka dalam sistem keuangan kampus, tetapi akumulasi dari keringat orang tua, hasil bekerja lebih lama, menunda kebutuhan pribadi, bahkan berutang demi satu harapan sederhana, anaknya bisa segera selesai dan hidupnya lebih baik.

    Karena itulah sebagian mahasiswa berusaha keras untuk cepat selesai.

    Bukan karena ambisi kosong, tetapi karena satu semester tambahan terlalu mahal untuk ditanggung. Mereka menghitung waktu bukan dengan kalender akademik, melainkan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Setiap keterlambatan administrasi berarti biaya baru. Setiap penundaan birokrasi berarti beban baru yang harus dipikul orang tua di rumah.

    Namun, kenyataan pahitnya, upaya itu sering kali berhadapan dengan sistem yang tidak memiliki sense of urgency.

    Di titik ini, relasi antara mahasiswa dan institusi menjadi timpang. Mahasiswa dituntut disiplin, tepat waktu, patuh pada tenggat, dan taat prosedur. Sementara sebagian dosen dan tenaga administrasi seolah bekerja secara sukarela, datang dan mengerjakan tugas sesuai waktu yang mereka pilih sendiri, tanpa konsekuensi langsung terhadap keterlambatan yang mereka sebabkan. Ketika mahasiswa terlambat, sanksinya jelas. Tetapi ketika birokrasi terlambat, mahasiswa diminta untuk “memaklumi”.

    Inilah ironi terbesar dunia pendidikan tinggi, mereka yang paling bergantung pada sistem justru paling dirugikan oleh sistem itu sendiri.

    Tulisan ini bukan upaya menyalahkan seluruh dosen atau staf administrasi. Banyak dari mereka yang bekerja dengan dedikasi dan integritas tinggi. Namun, menutup mata terhadap praktik birokrasi yang tidak profesional sama saja dengan membiarkan ketidakadilan menjadi budaya.

    Jika kampus sungguh ingin mencetak manusia yang disiplin, efisien, dan bertanggung jawab, maka nilai-nilai itu harus hidup terlebih dahulu di dalam sistemnya. Pendidikan bukan hanya soal kurikulum dan nilai akademik, tetapi juga soal keadilan waktu, penghargaan terhadap usaha, dan kesadaran bahwa masa depan mahasiswa tidak boleh diperlakukan sebagai urusan yang bisa ditunda kapan saja.

    Karena pada akhirnya, yang membuat mahasiswa terlambat lulus bukan selalu kurangnya usaha, melainkan sistem yang lupa bahwa waktu mahasiswa adalah biaya, dan biaya itu dibayar dengan keringat orang tua.


    Penulis: Pribadi Merdeka

    No comments