• Breaking News

    ⚖️ Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu hukum 𝐄𝐪𝐮𝐮𝐦 𝐞𝐭 𝐛𝐨𝐧𝐮𝐦 𝐞𝐬𝐭 𝐥𝐞𝐱 𝐥𝐞𝐠𝐮𝐦 ⚖️ Fakultas Syariah dan Hukum, Uin Alauddin Makassar ⚖️

    PP 56/2021 : Kontradiktif Sebuah Aturan

    Foto : Muh. Brian Abdullah Eka Trisna.

    Baru baru ini kita mendengar Presiden meneken Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/Atau Musik. Hal ini tentu saja sebuah angin segar bagi para musisi karena mendapatkan pengakuan lebih oleh pemerintah.

    PP 56/2021 ini adalah aturan turunan dari UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang dimana tarif untuk royalti sudah diatur sebelumnya dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Tarif Royalti Untuk Pengguna Yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu. 

    SK Kemenkumham ini melampirkan 12 Kategori pengguna yang melakukan pemanfaatan komersil terhadap karya musik dan lagu yang wajib membayarkan royalti kepada Pemilik karya. Tarif-tarif tersebut ditetapkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional yang selanjutnya disingkat LMKN. 

    LMKN sendiri ini adalah lembaga bantu pemerintah nonAPBN yang dibentuk oleh Menteri berdasarkan Undang-Undang mengenai Hak Cipta yang memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi Pencipta dan pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/atau musik.

    Menurut Formatur Ketua Umum DPD Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) Mahdar Nur, S.E dalam sambutannya di Rapat Pleno Terbuka Terbatas menyampaikan bahwa aturan ini membantu meningkatkan taraf hidup seniman. Karena banyak pencipta lagu di daerah Bugis yang sampai sekarang karyanya digunakan dalam berbagai kepentingan komersil namun tidak mendapatkan royalti. 

    Aturan ini juga membutuhkan kebersamaan dalam mengawal pelaksanaannya. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawalan untuk dibuatnya petunjuk pelaksanaan melalui Perda di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota. Ini menandakan bahwa pemerintah sekarang sudah menaruh perhatian khusus terhadap Musisi dan/atau pencipta lagu dengan menegaskan ke beberapa usaha hiburan untuk wajib membayarkan royalti kepada musisi atau pencipta lagu yang karyanya di mainkan ataupun diputar di tempat-tempat usaha hiburan.

    Namun, perlu kita ketahui bahwa hal ini juga menjadi lampu kuning bagi pemilik usaha-usaha yang tercantum dalam PP 56/2021 karena aturan ini diberlakukan dalam masa sulit pandemi Covid-19. Hal ini berdampak buruk bagi pengusaha-pengusaha karena PP 56/2021 ini membuat semakin terpuruknya usaha kecil yang memanfaatkan musik/lagu yang diputarkan didalam usahanya.

    Dalam wawancara salah satu media berita online dengan Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy Nicholas Mandey, menyampaikan bahwa saat ini sudah sangat banyak pengusaha bisnis ritel yang gulung tikar akibat pandemi. 

    Hal ini di sebabkan oleh ketidakmampuan pebisnis ritel dalam membayar biaya operasional kemudian ditambah lagi dengan pembebanan kewajiban bagi beberapa bidang usaha hiburan untuk pembayaran royalti dimana pertumbuhan usaha-usaha seperti itu semakin tercekik saat Indonesia menjadi salah satu negara yang juga mengalami resesi ekonomi.

    Semua hal tersebut bisa jadi menyebabkan penurunan angka pertumbuhan ekonomi indonesia di kuartal kedua tahun 2021. Angka ini sudah bisa diprediksi karena telah tergambarkan oleh angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal pertama tahun 2021 yang masih berada di posisi minus 1%. Tidak terlepas dari situasi covid yang masih tinggi, perkembangan daya beli/daya jual masyarakat dan pebisnis di Indonesia serta inflasi yang masih sangat rendah.

    Dengan beberapa data dan pendapat yang telah terangkum di atas, penulis berasumsi bahwa kebijakan pemerintah bisa ternilai bijak dan bisa ternilai membajak. Karena setiap kebijakan itu dapat dinilai baik buruknya berdasarkan kemanfaatan yang dirasakan secara personal. 

    Oleh karena itu, bisa penulis simpulkan bahwa suatu aturan/kebijakan pemerintah itu baik atau buruknya tergantung dari sudut pandang mana orang-orang melihatnya. Sebab, ketika aturan itu memberikan manfaat kepada diri pribadi secara personal, maka kita menganggap itu adalah kebijakan yang bijak, sedangkan ketika suatu aturan itu tidak memberikan manfaat kepada diri pribadi dan bahkan akan membawa kerugian, maka kita akan menganggap suatu kebijakan tersebut adalah kebijakan yang membajak.


    Penulis : Muh. Brian Abdullah Eka Trisna (Menko Penelitian dan Pengembangan HMJ Ilmu Hukum periode 2021-2022)

    No comments