• Breaking News

    ⚖️ Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu hukum 𝐄𝐪𝐮𝐮𝐦 𝐞𝐭 𝐛𝐨𝐧𝐮𝐦 𝐞𝐬𝐭 𝐥𝐞𝐱 𝐥𝐞𝐠𝐮𝐦 ⚖️ Fakultas Syariah dan Hukum, Uin Alauddin Makassar ⚖️

    Sun Go Kong mencari Kitab Suci Agraria

    Foto : La Baco' menunjukkan arah pada Sun Go Kong, Biksu Tong Sam Chong, Sha Wujing dan Cu Pat Kai yang hendak mencari kitab suci Agraria di Istana Negara. (Sumber : IG @anak90anid).

    OPINI - Prediksi cuaca beberapa hari itu ramai akan badai di Bulan April beberapa wilayah di Indonesia. Benar saja, hari itu di Kabupaten Gowa dan sekitarnya ramai berbagai pemberitaan media massa mengenai hujan badai . Pattalassang pun yang dikenal dengan seribu lubang tak ingin kalah eksis dengan menampakkan kesetanan melalui lubang lubang di jalanan beraspal sekira rata rata kedalamannya 50 CM. Cukup untuk mengagetkan sampai mencelakakan para pengendara yang masih awam dengan keadaan di sana.

    Fenomena fenomena alam seperti ini memancing pembicaraan mengenai lingkungan, ekolog, dan sebagainya. Kebetulan pada saat itu Dandhy Laksono seorang jurnalis yang aktif memproduksi produk pembelaan terhadap kaum termarginalkan di Indonesia lewat karyanya berupa tulisan maupun film dokumenter baru baru saja merencanakan musim nobar dengan meluncurkan film dokumenter berjudul "Kinipan".

    Bebagai organisasi maupun perkumpulan masyarakat mengadakan nonton bareng sekaligus diskusi membahas keadaan pangan, agraria, sekaligus lingkungan di Indonesia

    Menarik sebenarnya ketika membahas permasalahan ekologi ketika melihat suguhan dari film tersebut. Ekologi sendiri dapat diartikan sebagai disiplin ilmu yang membahas mengenai interaksi dengan lingkungan.

    Membahas ekologi di masyarakat umum tidak jauh dari pembahasan mengenai agraria. Agraria secara luas dapat diartikan sebagai hal-hal yang terkait dengan pembagian, peruntukan, dan pemilikan lahan. Di Indonesia memang berjodoh menjadi negeri yang agraris, mengutip perkataan Pak Tani dari Kecamatan Tombolo Pao, "Disini kalau mau bertani tinggal lempar bibitnya ke tanah Insha Allah tumbuh dek" ujar Petani yang asik merawat wortel wortel di lahannya itu.

    Dalam ranah hukum positif, agraria diartikan sebagai kaidah yang menentukan hal terkait pembagian lahan dan sebagainya. E. Ulterecht mengartikan agraria sebagai hukum yang istimewa dimana memberikan kewajiban kepada pejabat administrasi untuk bertugas dalam mengurus berbagai macam permasalahan mengenai agraria dalam memenuhi tugas mereka.

    Sayangnya, sejak dahulu permasalahan agraria di negara kita masih seringkali terjebak dalam masalah administrasi. Administrasi dalam arti sempit adalah kegiatan yang meliputi: catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda, dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan. Fungsi administrasi dalam agraria yaitu untuk mengusahakan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Agar nanti kiranya mengurangi konflik batasan pertanahan antar masyarakat.

    Faktanya Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengungkapkan total 241 kasus konflik agraria terjadi sepanjang Tahun 2020.

    Hal yang cukup miris, konflik agraria di masa pandemi seharusnya menurun mengingat pertumbuhan ekonomi masyarakat di masa pandemi covid-19 turun 200 persen.

    Perombakan yang dilakukan negara dalam hal regulasi dirasa meleset tidak sesuai target. Kebijakan pejabat negara pun akhir akhir ini semakin jauh dari kata "Prihatin" terhadap keadaan agraria di negri sendiri. Mulai dari Omnibus law yang berdampak demonstrasi dimana mana yang tak kunjung ditanggapi, Presiden yang lalu lalang membuat kebijakan pindahnya ibukota negara, sampai akun twitter negara yang senang memberitakan pernikahan artis.

    Film "Kinipan" menceritakan bagaimana konflik yang terjadi di tanah Kinipan, kebijakan restorasi ekosistem yang melahirkan konflik antara masyarakat, perusahaan, bahkan pemerintah menyebabkan gagalnya penghijauan.

    Sebab negara seharusnya perlu menghormati sekaligus merevisi terkait hukum adat.

    Dalam konstitusi Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:

    Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

    Dari sini kita bisa sepakati yang harusnya memiliki kewenangan terhadap perbaikan maupun pemanfaatan lahan adalah masyarakat sekitar karena mereka sudah paham mengenai konstruk alam di daerahnya masing masing. Kajian etnografi dalam buku Ekologi Sastra oleh Suwardi Endraswara menjabarkan bahwa masyarakat tradisional di Nusantara sudah memiliki caranya sendiri dalam merawat alam selain menjaga kelestarian ekosistem juga untuk merawat agar lumbung pangan terus terisi. Jadi, negara dalam hal ini bersikap pasif, tidak perlu terlalu banyak mengintervensi kebijakan dalam lingkungan masyarakat tersebut.

    Menurut hemat penulis yang perlu ditingkatkan hari ini kualitas pengetahuan maupun kuantitas mengenai pertanian. Agar kiranya ke depan pertanian dapat mandiri dan memproduksi cadangan masyarakat untuk seluruh masyarakat, tidak perlu banyak setidaknya dapat memenuhi kebutuhan perut. Selain itu mengenai hukum agraria sepertinya perlu dirombak baik secara regulasi maupun implementasi. 

    Kita serupa Sun Go Kong yang dihukum oleh Dewi Kwan Im karena berdosa terhadap Dewi Pertiwi akibat terlalu superior merasa diri paling hebat hingga lupa cara merawat dan mencintai. Kini kita perlu menebus dosa Sun Go Kong masa lalu untuk kehidupan Sun Go Kong masa depan yang lebih baik.

    Untuk mewujudkannya itu kita berhak berubah.

    Bukankah sesungguhnya keadilan ditujukan untuk seluruh Rakyat?


    Penulis : Muh. Ian Hidayat Anwar (Ketua Bidang Keilmuan HMJ Ilmu Hukum Periode 2021-2022)

    No comments