Pembantaian Dukun di Banyuwangi dan Santet Wayang Golek
OPINI - Miris adalah kata yang sekilas muncul di benak manusia ketika kembali mendengar sejarah kejahatan hak asasi manusia (HAM) di negeri yang katanya Pluralis akan adat istiadat itu. Di gambar dan mewarnainya dengan kekayaan alam, ras, suku, bangsa dan agama. Negeri dengan sederet kasus kejahatan HAM yang sama tersusun “rapi”, sama "rapi"nya dengan gugusan pulau di seantero Nusantara dan kemudian di ramu menjadi satu kata. INDONESIA.
Lucu kemudian berubah menjadi kata yang pas untuk sedikit menikmati keadaan ibu pertiwi tua yang di perkosa oleh kaum imperialis dan kapitalis muda. Lucunya di mana? Hihi, miris, iya. Ini dia, coba lihat pejabat negara hari ini, selain mereka terlihat di “setir” bukankah juga terlihat seperti wayang golek yang di perankan kang sule dalam acara tv “Bukan Sekedar Wayang” yang tayang mulai tahun 2014 di NET TV. Yang naskahnya (baca : peraturan) sengaja berisi omong kosong belaka atau sengaja di buat kontradiktif dengan tingkah lakunya agar terlihat lucu. Dan cara paling beretika untuk menghargai semua itu adalah tertawa. Haha
Terlepas dari semua keanehan itu mari kita sedikit melihat keadaan ini dengan sangat serius. Seperti aku yang serius menjalin hubungan harmonis di sore hari dengan senja.
Karena kita terlalu banyak larut dalam kesedihan dan kesenangan yang akhirnya membuat kita lupa bahwa, banyak kasus kejahatan HAM yang luar biasa menjadi biasa saja. Dikarenakan terlalu larut dalam asiknya goyang Tik-tok dan sedihnya kampus yang rindu dengan mahasiswanya. Mulai peristiwa pembantaian tahun 1965 hingga peristiwa Penembakan 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) yang menutup akhir tahun 2020 dengan wewangian zaman Orde Baru, kita semua biasa-biasa saja.
Dalam jangka waktu 55 tahun, mulai dari tahun 1965-2020 Negara dengan rasa tinggi akan kemanusiaan yang adil dan ber"adab"nya itu, terang-terangan melacurkan ibu pertiwinya dan melahirkan anak dari peristiwa Holocaust (kasus pelanggaran HAM berat). Yang hingga saat ini proses penyelesaiannya masih tertidur di tahap Penyelidikan/Penyidikan, meskipun ada beberapa yang bangun dan menemui titik terang. itu semua semata untuk meredam selaut amarah dari kaum Vigilante. Olehnya itu mari kita analisis kasus yang menurut penulis sangat unik, yaitu Pembantaian Banyuwangi 1998.
Pembantaian Banyuwangi 1998 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang yang diduga melakukan praktik ilmu hitam (santet atau tenung) yang terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur, dalam kurun waktu Februari hingga September 1998. Namun hingga saat ini motif pasti dari peristiwa ini masih belum jelas.(sumber: Wikipedia).
Mari kita perjelas kasus yang unik ini. “Pembantaian Dukun santet”, sering di sebut dengan nama itu karena disinyalir korbannya mempraktikkan ilmu hitam, walaupun beberapa di antara mereka tidak tahu menahu soal santet. Bahkan di telusuri kembali diantara mereka ada guru ngaji dan tokoh masyarakat yang ikut menjadi korban pembantaian. Hasil penyelidikan dari tim ad hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang mulai bekerja pada 2015 dan di umumkan ke publik pada tanggal 15 januari 2019, mencatat jumlah korban pembantaian mencapai 309 orang: 194 orang di Banyuwangi, 108 orang di Jember dan 7 orang di malang.
Kalau kita membaca kembali berita di media kontemporer soal pembantaian ini, ternyata peristiwa ini dipicu karena meluasnya isu SARA pada saat itu serta ilmu santet di daerah Banyuwangi dan sekitarnya, digunakan oleh sebagian warga masyarakat untuk menaklukan seseorang sehingga membuat orang lain sakit, dan bahkan sampai meninggal. Akibatnya menimbulkan amarah masyarakat dan berkembang menjadi kebencian dan balas dendam. Peristiwa pembunuhan dan penganiayaan dukun santet tersebut adalah murni perbuatan kriminal secara berencana dan disengaja. Dalam kasus ini pembunuhan ternyata sangat sistematis dan meluas.
Modus operandinya adalah melakukan penganiayaan berat terhadap korban yang diduga dukun santet dengan cara menjerat, memukul atau menggantung korbannya, sehingga menimbulkan kesan sadis dan keresahan, serta rasa takut dari warga dan masyarakat. Hal ini cukup untuk mengkategorikan kasus ini termasuk kejahatan kemanusiaan dan melanggar Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 huruf a Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Pun untuk menjawab keresahan warga pada saat itu, para pelaku pembunuhan dan penganiayaan yang dicurigai, di tangkap serta ditahan oleh Polri sebanyak 312 orang. Pelaku yang diduga terlibat 125 orang, 66 orang tersangka telah dilimpahkan ke pengadilan dan 40 orang diantaranya telah divonis hukuman maksimal 5 tahun. Sepertinya tidak sesuai dengan euforia mereka pada saat melakukan pembantaian.
Mirisnya lagi hingga saat ini belum di temukan siapa dalang di balik semua ini. Akan tetapi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menduga ada keterlibatan aktor intelektual yang ikut mendesain, merancang dan mendanai operasi ini.(sumber: NU Online)
Akhir dari kasus ini, Komnas HAM mengirim hasil penyelidikannya ke Kejaksaan untuk di tindak lanjuti. Kemudian pada tanggal 12 januari 2019 Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung telah menerima berkas dari Komnas HAM tersebut. Hingga saat ini berkas tersebut tengah diteliti. Jika belum lengkap, berkas perkara tersebut akan dikembalikan lagi ke Komnas HAM. Namun, jika berkas sudah memenuhi syarat secara formil dan materiil, maka akan ditingkatkan ke tahap penyidikan.(sumber: tirto.id).
Yah kan, kasusnya masih sama saja, tertidur di Kejaksaan Agung dua tahun lebih hingga saat ini. Belum lagi kasus-kasus lainnya seperti kasus Almarhum Munir, Widji Thukul dan masih banyak lagi, yang berkasnya tertumpuk rapi di selimuti debu dan sarang laba-laba di Kejagung. Ah sudahlah, emang lucu negeri ini dengan santet Peradabannya.
Maka dari itu, saya mengajak semua pembaca untuk : Tertawalah melihat setiap segmen opera yang di mainkan penguasa dengan alibi ingin cepat menyelesaikan kasus-kasus HAM berat yang belum usai itu. Kemudian bersedih dan kenanglah selalu, bahwa kita telah kehilangan orang-orang baik yang ingin melihat negeri ini lebih baik.
Penulis : Fadillah Dharma Wijaya (Vigilante)
No comments