• Breaking News

    ⚖️ Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu hukum 𝐄𝐪𝐮𝐮𝐦 𝐞𝐭 𝐛𝐨𝐧𝐮𝐦 𝐞𝐬𝐭 𝐥𝐞𝐱 𝐥𝐞𝐠𝐮𝐦 ⚖️ Fakultas Syariah dan Hukum, Uin Alauddin Makassar ⚖️

    Urgensi Perluasan Pasal Perzinaan

     



    Gambar: foto Zulkifly

    OPINI - Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) beberapa pasalnya dinilai menghambat dan menghapus nilai nilai demokrasi di Indonesia. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang menarik dan perlu didukung oleh semua elemen bangsa, terkhusus oleh para Mahasiswa.

    Dalam RUU KUHP terdapat perluasan pasal perzinaan yang jika dikaji secara mendalam, hal tersebut merupakan upaya melindungi kaum perempuan dan menciptakan ketertiban umum. Merujuk dari pendapat beberapa ahli seperti, Prof. Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Dr. Ernst Utrecht dapat disimpulkan bahwa, hukum bertujuan untuk memelihara ketertiban umum.

    Banyaknya kejahatan seperti pembunuhan, penganiayaan dan sebagainya yang terjadi di Indonesia, tidak sedikit disebabkan karena anak atau keluarga pelaku kejahatan tersebut terlibat dalam praktik perzinaan. Baik perzinaan menurut perspektif agama maupun perspektif adat di Indonesia. Sebagaiamana yang dilansir dari detik.com, telah terjadi pembunuhan di Sulawesi Selatan yang disebabkan karena korban terlibat hubungan persetubuhan tanpa adanya perkawinan sah.

    Tentunya peristiwa ini terjadi karena adanya kekosongan hukum yang mengatur secara eksklusif tentang perilaku perzinaan di wilayah hukum Indonesia. Sehingga memicu masyarakat untuk bertindak kriminal (main hakim sendiri). Maka dari itu negara wajib hadir dalam menangani fenomena tersebut. 

    Kali ini, kita patut mengapresiasi langkah yang diambil oleh pemerintah, dengan menghadirkan pasal dalam RUU KUHP yang dapat menjadi solusi atas kekosongan hukum saat ini. Dalam pasal 415 ayat 1 RUU KUHP menguraikan:

    Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II. Pada ayat 2 huruf (a) dan (b) menjelaskan bahwa penuntutan tidak dapat dilakukan kecuali atas pengaduan: a). suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; b). orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

    Mengingat bahwa saat ini, perzinaan dalam hukum positif Indonesia tepatnya pada pasal 284 KUHP cakupannya masih sangat sempit, yakni hanya dapat dikenakan pada pelaku zina yang terdapat perkawinan resmi di dalamnya (perselingkuhan). Tentunya hal tersebut tidak mencakup seluruh lini dalam aturan agama maupun adat yang dianggap krusial oleh masyarakat Indonesia.

    Dalam pandangan hukum adat di Indonesia, pada umumnya juga melarang perzinaan. Misalnya bagi masyarakat adat Minangkabau, Perzinaan dilarang keras dan dikenakan sanksi pidana yang keras. Jika kita meninjau dalam undang-undang nan salapan jo undang-undang nan duo baleh (KUHP dan KUHAP-nya Minangkabau) kejahatan yang dikategorikan "sumbang salah" ini dapat dikenakan sanksi pembuangan dari kaum dan nagari sampai hukuman mati (teknis pelaksanaan pidana mati bisa beragam pada setiap nagari) yang diperinci sebagai berikut:

    "mandi dipincuran gadiang" artinya sengaja memasuki tempat atau mengganggu kehormatan (tacemo) orang lain yang bukan mukhrim,  sanksinya berupa "mambayia bangun" (denda) ternak atau emas; "tapanjek di lansek masak" artinya bujangan dan gadis berzina,  sanksinya "dibuang siriah" atau "dibuang tikarang" dari kaum dan/atau nagari; "takuruang di biliak dalam" artinya sengaja berzina dengan istri orang lain, sanksinya mati; "manyasok ka bungo kambang" artinya memperkosa perempuan, sanksinya mati.

    Namun sayang sekali dalam penerapan hukum pidana saat ini, ketentuan diatas tidak berlaku maksimal atau dapat dikatakan telah "mati suri"  karena berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) dan dihapuskannya peradilan adat dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1950. 

    Adapun mengenai kedudukan agama di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), agama memiliki kaitan yang erat dengan negara. Konstitusi atau UUD kita tidak memisahkan agama dengan negara, agama kebebasannya dijamin oleh negara, nilai-nilai agama merupakan sumber dari kebijakan-kebijakan negara, segala kebijakan yang bertentangan dengan nilai agama maka bertentangan dengan konstitusi.

    Prinsip sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa meski memiliki pemaknaan yang berbeda-beda dari masing-masing agama, tetapi sila pertama tersebut tetap menjadi causa prima atau penyebab adanya sila-sila yang lain. karena, dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

    Saat ini, terdapat opini dari tokoh sekuler yang berkembang di tengah masyarakat. Opini tersebut berupa tuduhan yang mengatakan bahwa usulan kriminalisasi oleh negara terhadap semua tindak perzinaan, termasuk bagi yang belum menikah, merupakan upaya pemaksaan atau praktik Islamisasi di Indonesia.

    Sedangkan fakta yang ada, tindak perzinaan selain ditolak oleh umat Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, juga ditolak oleh agama-agama lain. Misalnya, bagi umat Kristiani, larangan berzina terdapat dalam Injil Matius 5:27. Menurut agama Budha, zina adalah satu dari lima perbuatan paling terlarang bersama pembunuhan, kebohongan, pencurian dan meminum arak. Demikian juga dalam agama Hindu, dari Veda Smerti, Parasara Dharmasastra X. 30, ditegaskan bahwa: “Wanita yang memperoleh kehamilan dengan kekasih gelapnya (tidak melalui upacara pawiwahan); harus diusir ke sebuah kerajaan asing (keluar wilayah).”

    Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi untuk menganggap bahwa penolakan terhadap zina merupakan agenda eksklusif umat tertentu saja. Sehingga semua elemen masyarakat terutama para mahasiswa, wajib mengawal dan mendukung perluasan pasal perzinaan yang terdapat dalam RUU KUHP untuk sampai pada tahap pengesahan dan resmi diundangkan oleh negara.


    Penulis: Zulkifly (Mahasiswa Ilmu Hukum Angkatan 2021)

    No comments