Setiap Orang Lain Adalah Neraka dan Setiap Usaha Adalah Nihil
Gambar : Pribadi Arya Kusuma
“Setiap orang lain adalah neraka”
Begitu kira-kira pandangan Sartre terhadap individu-individu yang lainnya (1). Pandangan tersebut jika diuji dengan melihat kondisi hari ini tentu menjadi suatu hal yang tak dapat dinafikan. Tatanan sosial di dikonstruk kompetitif agar bagaimana tiap-tiap individu berlomba-lomba bagai binatang lapar yang sibuk memikirkan perutnya masing-masing. Tak peduli dengan cara apa serta siapapun yang menghalau akan disingkirkan demi meraih santapan yang ada di hadapan mata. Oleh karena itu, sudah menjadi konsekuensi yang harus diterima apabila dalam mengejar santapan tersebut akan ada yang tergeser, terinjak, bahkan menjadi korban yang tewas. Yah mau bagaimana lagi, dari pada mati karena lapar tentu akan lebih baik mati dalam berjuang. Itulah hukum yang harus diterima masing-masing binatang lapar demi untuk tetap eksis.
Berbicara tentang eksis mungkin kita bisa kembali lagi kepada pandangan sartre dalam memaknai hal tersebut. Bahwa eksis yang dimaksudkan bukan sekedar ada secara fisik sebagaimana pemaknaan kita selama ini, namun suatu kondisi dimana “kesadaran” turut hadir menyertai pada diri yang ada secara fisik. Lebih jelasnya Sartre membagi hal tersebut menjadi dua gagasan, yakni apa yang ia sebut sebagai I etre en soi yang artinya “berada pada dirinya” dan I etre pour soi yang berarti “berada untuk dirinya”.
I etre en soi atau “berada pada dirinya” merujuk kepada sesuatu yang ada secara fisik seperti batu, pohon, dan berbagai benda-benda yang secara jasmani ada serta tunduk pada prinsip identitas. Semuanya entitas yang sekedar “berada pada dirinya” itu tidak aktif, tidak mengiyakan dan juga tidak menyangkal. Hadirnya kesadaran diri pada manusia membuatnya meningkat dan beralih dari I etre en soi atau “berada pada dirinya” yang sekedar merupakan benda atau objek menjadi I etre pour soi atau “berada untuk dirinya”. Hal itu kemudian menimbulkan kebebasan pada manusia yang membuatnya mampu menciptakan dirinya serta dapat mengatur, memilih, dan memberi makna pada realitas.
Kebebasan inilah yang menjadi hakikat atau esensi manusia yang membuatnya menerobos dan terlepas dari keterbatasan daripada dunia kebendaan atau dunia objek en soi. Karena hal itulah Sartre kemudian mengatakan bahwa “Aku (Manusia/Subjek) dikutuk menjadi bebas”. Perlu digaris bawahi bahwa kesadaran yang dimaksudkan disini bukanlah suatu hal yang transendental semata, namun suatu kesadaran diri yang melibatkan aktivitas, perbuatan, atau pengalaman bebas tubuh manusia (2).
Kebebasan sebagai suatu hal istimewa yang dimiliki manusia sebagai individu mungkin akan terlihat baik-baik saja sampai kita tersadarkan bahwa dunia berisi oleh sekumpulan individu-individu. Dalam hal ini bagaimana jika tiap individu dalam perkumpulan yang ada masing-masing berupaya untuk eksis? Tentu kekacauan yang digambarkan Thomas Hobbes sebagai “Homo Homini Lupus” akan menjadi ancaman yang mengkhawatirkan. Karena apa yang ada dalam kesadaran diri tiap-tiap individu yang berupaya untuk eksis adalah bahwa “Setiap individu lain adalah neraka” sebagaimana apa yang telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini.
Sampai hari ini telah lahir berbagai pandangan dalam upaya mengatasi kondisi kekacauan sebagaimana yang digambarkan oleh Thomas Hobbes tersebut. Thomas Hobbes sendiri memberikan solusi berupa kontrak sosial atau kesepakatan tiap-tiap individu untuk menunjuk penguasa dalam mengatur tiap-tiap individu. Namun hal itu yang dianggap solusi sebagai upaya menghindari egoisme masing-masing individu tersebut justru melahirkan keotoriteran penguasa. Dalam mengatasi hal tersebut lahir lagi upaya untuk membagi dan melakukan pemisahan kekuasaan oleh John Locke dan Montesquieu agar kekuasaan tidak terpusat oleh seseorang semata juga teori kedaulatan rakyat oleh J. J. Rousseau yang memberikan gagasan akan penyerahan kekuasaan rakyat secara individu kepada rakyat secara keseluruhan sehingga dapat terwujud check and balance (3). Namun lagi-lagi sifat alami individu yang selalu berupaya untuk eksis membuatnya selalu menemukan celah. Tiap individu kemudian membentuk transaksi elitis yang menimbulkan oligarki atau kekuasaan yang didominasi oleh beberapa orang saja. Kekuasaan atas segelintir orang tersebut kemudian berkembang dan melahirkan suatu hegemoni, baik dalam bentuk penguasaan kapitalis terhadap proletar maupun penguasaan negara super power atau adikuasa terhadap negara-negara terbelakang (4).
Melihat kondisi tersebut dimana tiap individu terus berlomba-lomba untuk tetap eksis melalui keistimewaannya yang selalu dapat menemukan celah dalam upaya untuk dominan dan berkuasa terhadap yang lain, akankah kita pasrah atau tetap berupaya untuk mengatasinya? Namun mungkinkah usaha-usaha yang dilakukan dapat menjadi solusi atau justru lagi-lagi menimbulkan upaya eksis baru yang malah menambah kekacauan yang ada? Pada akhirnya kita diantarkan pada suatu situasi yang seakan-akan membuat setiap usaha apapun yang dilakukan dalam mengatasi kekacauan yang ada menjadi nihil. Kebebasan manusia yang awalnya dianggap istimewa karena membuatnya eksis pada akhirnya justru menjadi sebuah kutukan yang mematikan moral yang karenanya menimbulkan kaum/golongan yang tertindas.
Dalam Kondisi tersebut diatas setiap tindakan atau upaya apapun yang dilakukan tentunya memiliki konsekuensi masing-masing. Pada akhirnya dan yang paling utama ialah bahwa kita harus berjuang untuk tetap eksis demi untuk dapat bertahan dalam tatanan yang serba kompetitif.
Referensi :
- Sartre, Eksistensialisme Jean-Paul. "Manusia, Kebebasan dan Tanggung Jawab dalam Perspektif." Filsafat Manusia: 37.
- Fauzan, Muhamad, and Radea Yuli A. Hambali. "Kebebasan Individu dalam Tinjauan Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre." Gunung Djati Conference Series. Vol. 19. 2023.
- Nasarudin, Tubagus Muhammad. "Konsepsi Negara Hukum Pancasila Dan Implementasinya Di Indonesia." Pranata Hukum 15.1 (2020): 43-52
- Suteki. "Hegemoni Oligarki dan Ambruknya Supremasi Hukum." CREPIDO 4.2 (2022): 161-170.
No comments