MK VS DPR : Darurat Demokrasi Reformasi Dihabisi
Doc : Garuda biru simbol darurat
Opini - Mahkamah Konstitusi telah mengubah aturan dalam UU Pilkada mengenai aturan pencalonan kepala daerah. Aturan yang diubah MK adalah terkait penghitungan parpol untuk mengusung kepala daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang mengubah ambang batas syarat pencalonan (threshold) di pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 mendapatkan respon dan komentar dari berbagai kalangan. Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 ini langsung berlaku untuk Pilkada 2024. Sebab, putusan MK ini tidak menyebut penundaan pemberlakuan putusan pada pilkada mendatang. Adapun beberapa bunyi pasal yang penulis kutip di Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 Menyatakan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut: Untuk mengusulkan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur.
Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di provinsi tersebut; Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut; Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di provinsi tersebut.
Putusan MK ini tidak hanya akan berdampak kepada calon seperti Anies Baswedan yang dikabarkan akan mencalonkan di jakarta ataupun PDIP yang ditinggal oleh koalisi besar, tetapi juga akan membuat pergerakan dan dinamika politik yang luas bagi para calon yang belum punya kesempatan dalam bangunan koalisi yang ada. Perubahan politik di daerah ini akan terjadi menjelang pembukaan pendaftaran nanti. Akan tetapi putusan tersebut tampaknya akan dianulir oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, Badan Legislasi atau Baleg DPR akan menggelar rapat seusai Mahkamah Konstitusi (MK) menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. MK sebelumnya menurunkan ketentuan ambang batas Pilkada melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Namun, pembahasan tersebut bukan merupakan pengesahan putusan MK menjadi undang-undang. Seorang sumber Tempo menyebut rapat Baleg DPR itu justru akan menganulir putusan MK.
Padahal kita semua tahu putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and binding, suka tidak suka harus diikuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku. tentunya kita sebagai rakyat Indonesia perlu terus #KawalPutusanMK jangan sampai masyarakat dialihkan dengan isu selangkangan selebriti.
Muh. Naufal Madani (Anggota Bidang Advokasi, Politik, Hukum, Dan HAM HMJ Ilmu Hukum UINAM)
No comments