Menjadi Raja di Negeri Demokrasi
Di Makassar, sebuah spanduk membentang di Fly Over bertuliskan “Makassar tidak tunduk pada Raja Jawa” sejak Kamis 22 Agustus 2024 (masa demonstrasi terkait putusan MK). Spanduk itu bertahan selama dua hari dan berhasil mendapat sorotan dari Warga Makassar. Seakan mendeklarasikan bahwa Makassar menolak politik dinasti.
Raja dan Politik Dinasti
Politik dinasti merujuk pada situasi di mana kekuasaan politik dipegang oleh anggota keluarga yang sama secara berturut-turut. Misalnya, seorang pemimpin politik yang memiliki hubungan keluarga langsung dengan pendahulunya, seperti ayah, ibu, atau saudara kandung, dan kemudian menggantikan posisi kekuasaan tersebut.
Politik dinasti secara resmi berkembang di negara monarki atau kerajaan. Sistem tersebut adalah bentuk pemerintahan kekuasaan tertinggi berada di tangan seorang raja atau ratu, pada pokoknya kekuasaan tertinggi terpusat pada satu orang. Di era sekarang, contoh negara yang menggunakan sistem monarki adalah Arab Saudi, Qatar, Pinrang dan lain sebagainya. Negara negara tersebut mewariskan kekuasaan berdasarkan genealogi atau hubungan darah.
Indonesia sebagai Demokrasi
Tidak ada aturan konkrit yang mengatakan Indonesia sebagai negara demokratis, namun secara tersirat. Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Pasal ini menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, yang merupakan prinsip dasar dari sebuah negara demokrasi.
Saat kata “demokratia” (kuasa rakyat) dijelaskan terkait konsep kenegaraan, demos (rakyat) disini adalah sesuatu yang anonim. Indonesia, sebagai negara yang multi-etnis memiliki orientasi berbeda soal negara. Kita akan bertanya soal “bisakah kekuasaan diberikan kekuasaan pada rakyat yang kompleks?” atau bertanya soal “bagaimana bentuk demokrasi dalam rakyat yang kompleks”.
Saya ingin menggunakan pendekatan ide negara hukum (Rechstaat) untuk memecahkan persoalan di atas. Legitimasi dari sebuah tatanan ketatanegaraan tergantung pada praktik sesuai dengan hukum. Meminjam pemikiran Habermas, dia menganggap rakyat sebagai subjek dan proses penyatuan rakyat sebagai proses yang tidak berkesudahan. Prinsip ini kemudian mendorong sidang rakyat tanpa proses fiksi, sidang seluruh rakyat dengan pencapaian konsesus atas seluruhnya.
Indonesia menggunakan tafsir Montesqieu untuk menerapkan nilai nilai tersebut. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Konsep keterwakilan, dari rakyat yang memberi amanahnya kepada pejabat fungsionaris untuk menitipkan kepentingannya. Habermas sebenarnya sudah memperingatkan bahwa konsep tersebut rentan merugikan rakyat secara luas, para pejabat fungsionaris punya peluang besar untuk berkhianat atas amanah yang dilekatkan pada dirinya.
Maka dari itu, penting menegaskan soal aturan. Indonesia adalah negara hukum, dasar nilai bagi pejabatnya adalah UUD 1945. Nilai itu yang harus dijaga oleh pejabat baik dari segi legislatif, eksekutif, sampai yudikatif.
Bukan Negara Monarki atau Kerajaan
Menyepakati sistem demokratis sebagai penyelenggaranya, mempertegas bahwa di Indonesia tidak tunduk pada raja. Indonesia menjalankan kedaulatan berdasarkan hukum, bukan standar moral yang ditetapkan oleh penguasa ataupun pejabat. Penguasa ataupun pejabatnya, harus tunduk pada hukum dan aturan berlaku. Mereka tidak berhak menentukan dan membuat regulasi tanpa persetujuan rakyat luas.
Pada prinsip kerajaan atau monarki absolut, raja atau penguasa memegang otoritas atas standar moral yang berlaku di masyarakat. Raja atau penguasa yang membuat aturan dan atas persetujuannya diterapkan dalam masyarakat. Berbeda dengan negara demokratis.
Di negara demokrasi, hukum maupun aturan merupakan produk kolektif. Produk tersebut lahir atas konsensus dari seluruh lapisan masyarakat. Aturan tidak dibuat untuk kepentingan satu orang raja, sekelompok penguasa, ataupun sebuah keluarga.
Penulis : Elang, Pegiat Hukum (Nama Samaran)
No comments