Esensi Sumpah Pemuda, Esensi yang Paling Banyak Dilanggar Oleh Politikus
Gambar : Pribadi
Opini - Sumpah pemuda dalam momentum kali ini adalah yang paling mengharukan bagi saya. Pasalnya, saya kembali merenungi bisa apa kita tanpa pemuda? Termasuk padanya bisa apa politik tanpa pemuda?
Bulan sumpah pemuda kali ini sangat erat dengan nuansa politik. Seluruh penjuru negeri menyaksikan para senator dan pemimpin baru usai dilantik. Mereka duduk pada singgasana kekuasaan setelah perjuangan relawan muda merangkap sebagai tim pemenangan mencari simpatik.
Merefleksikan sumpah pemuda tidak akan cukup dengan segudang kertas maupun miliaran narasi yang bertebaran di sosial media. Karena sejatinya, esensi sumpah itu menunjukkan satunya perkataan dan perbuatan. Itulah yang belum cukup dipahami oleh beberapa politikus kita hari ini.
Dalam dunia politik, janji kampanye seharusnya menjadi landasan utama antara calon pemimpin dan pendukungnya. Sebagaimana yang diungkapkan dalam teori kontrak sosial oleh Rousseau, hubungan politik harus dibangun di atas dasar timbal balik yang jelas: pemimpin berjanji untuk mendengar, dan rakyat mendukung dengan keyakinan bahwa janji tersebut akan diwujudkan. Namun, fenomena yang kita saksikan saat ini justru sering kali sebaliknya. Janji-janji, seperti juga fatamorgana, semakin kabur begitu kemenangan diraih.
Individu yang terlibat langsung dalam proses strategis selama kampanye politik terakhir, memperoleh pelajaran yang cukup ironi bahwa dalam realitas politik kontemporer, janji tidak selalu diartikan sebagai komitmen. Ketika kemenangan telah digenggam, ternyata ada hal-hal yang tiba-tiba menjadi "lupa" untuk dipenuhi, terutama bagi mereka yang berkontribusi dalam perjalanan kemenangan tersebut. Janji untuk mendapatkan peran strategis berubah menjadi sekadar cerita lama setelah pemilu usai.
Mengapa hal ini terjadi? Mungkin karena dalam dunia politik, janji hanyalah alat untuk membangun momentum, bukan sesuatu yang perlu dipertahankan pasca-kemenangan. Fakta bahwa beberapa pihak berjuang keras untuk membantu kemenangan itu tampaknya tidak sebanding dengan kebutuhan mendesak untuk menyusun kembali prioritas setelah pemimpin telah duduk nyaman di kursinya. Pengabaian ini menjadi bukti bahwa kepercayaan dalam politik bisa jadi tidak lebih dari sekadar retorika sementara.
Yang menarik, retorika ini masih diterima luas. Seolah-olah, masyarakat politik, termasuk para pendukung, secara tidak langsung telah menerima bahwa janji politik tak lebih dari tulisan di atas air. Mungkin, kita semua sudah terbiasa dengan fakta bahwa dalam setiap kemenangan, ada yang terlupakan—dan dalam konteks ini, tampaknya pihak yang terlibat langsung dalam kemenangan tersebut adalah salah satu yang terlewat.
Dalam kajian etika pemerintahan, terdapat prinsip bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang konsisten. Konsistensi dalam menepati janji adalah salah satu tanda bahwa integritas tetap dipegang teguh. Namun, ironisnya, bagi beberapa pemimpin, konsistensi mungkin lebih sering diterjemahkan sebagai kemampuan untuk secara konsisten melupakan.
Pelajaran berharga dapat dipetik dari pengalaman ini. Janji politik rupanya tidak mencerminkan sumpah pemuda itu sendiri, janji politik bukan sesuatu yang dapat dipegang dengan erat, melainkan sesuatu yang bersifat cair, tergantung situasi. Mungkin benar kata sebagian orang: dalam politik, hal yang paling konsisten adalah ketidakpastian itu sendiri.
Penulis : Andi Nur Jayadi, S.T (Ketua Umum Yayasan Formasita)
No comments