• Breaking News

    ⚖️ Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu hukum 𝐄𝐪𝐮𝐮𝐦 𝐞𝐭 𝐛𝐨𝐧𝐮𝐦 𝐞𝐬𝐭 𝐥𝐞𝐱 𝐥𝐞𝐠𝐮𝐦 ⚖️ Fakultas Syariah dan Hukum, Uin Alauddin Makassar ⚖️

    Menuju Indonesia Gelap : Rakyat Ditindas, TNI Dimanjakan

     

    Doc : Pribadi Sandi Hermawan

    Opini - Di tengah dinamika politik dan sosial begitu kompleks. Sebagai negara yang mengklaim bahwa sebagai negara demokratis terbesar di asia tenggara, yang telah banyak melalui fase dalam perjalanan politiknya. Sejak 1998 yang dimana masyarakat indonesia bersusah payah untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan menghormati Hak Asasi Manusia.

    Namun saat ini kita dihadapkan dengan masalah yang cukup serius yang dapat mengancam fondasi demokrasi negara kita, yaitu Rancangan Undang – Undang Tentara Nasional Indonesia ( UU TNI ) yang berpotensi mengembalikan dwi fungsi militer. Ini menjadi sebuah kekhawatiran di tengah masyarakat dikarenakan terdapat beberapa pasal kontroversial. Yaitu pasal 47 ayat (1)

    Perlu kita ketahui bersama bahwa Revisi Undang – Undang TNI No 34 Tahun 2004 merupakan hasil dari produk reformasi yang dirancang untuk memastikan profesionalisme militer dengan memisahkan peran TNI dari Politik dan Bisnis. Yang dimana menegaskan bahwa fungsi utama TNI ialah sebagai alat pertahanan negara namun dalam beberapa pasal UU TNI yang baru saja disahkan beberapa jam lalu baru terdapat beberapa pasal yang dipertanyakan. Terlebih lagi peluasan peran TNI di bidang sipil dan penambahan tugas OMSP (Operasi Militer Selain Perang ). 

    Perluasan Jabatan Sipil untuk TNI 

    Berdasarkan UU No 34 Tahun 2004 pasal 47 ayat 1 mengatur tentang ranah yang bisa di duduki oleh militer. Di dalam Undang – Undang lama ada 10 jabatan. Ini merupakan kompromi pada masa reformasi untuk membatasi keterlibatan militer dalam ranah sipil. namun di undang – undang yang baru terdapat perluasan terhadap ranah yang boleh dimasuki oleh TNI. Termasuk Kejaksaan Agung, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP).

    Ini menimbulkan pertanyaan serius. Dalah hal ini mengapa Kejaksaan Agung Perlu dimasukkan dalam daftar jabatan sipil yang dapat diisi oleh TNI ?. kita ketahui bersama bahwa Kejaksaan merupakan sebuah lembaga penegak hukum, sementara TNI adalah alat pertahanan Negara. Yang dimana keduanya memiliki tupoksi yang berbeda dan tidak seharusnya tumpang tindih. Terlebih lagi kehadiran jabatan Fungsional Penuntut Umum Militer (Jampidum) yang menuai kritik di karenakan sebelumnya. Yang dimana sebenarnya jampidum merupakan sebuah jabatan yang tidak perlu. Yang dimana kita perlu ketahui bahwa Jaksa Militer Pidana Umum memiliki fungsi yang dimana untuk menangani perkara koneksitas yaitu perkara kejahatan yang dilakukan oleh TNI. Oleh karena itu jika TNI diperbolehkan menduduki jabatan Di kejaksaan Agung Maka Batasan dalam jabatan TNI di dalam Kejaksaan itu harus jelas. Apakah hanya sebatas Jampidum ataukah bisa meluas ke jabatan lain? Tanpa adanya kejelasan ini, dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran terhadap prinsip pemisahan terhadap fungsi pertahanan dan penegakan hukum.

    Sementara keterlibatan TNI dalam KKP juga menimbulkan tanda tanya ? jika di bidang keamanan laut bisa dipahami karena berkaitan dengan keamanan, maka di KKP alasan keterlibatan TNI tidak cukup begitu kuat. Ini hanya menimbulkan spekulasi terhadap TNI bahwa ada upaya militer masuk ke dalam ranah sipil yang bukan sebagai tanggung jawabnya.

    Perluasan Tugas Operasi Militer Selain Perang

    UU TNI 2004 telah mengatur 14 tugas OMSP, seperti penanganan terorisme, pemberontakan bersenjata, dan bantuan kepada kepolisian. Namun, dalam draf revisi, terdapat usulan untuk menambah tugas OMSP, termasuk penanganan narkoba. Ini adalah langkah yang berisiko tinggi. Penanganan narkoba seharusnya berada dalam kerangka criminal justice system, bukan war model. Jika TNI dilibatkan dalam penanganan narkoba, dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran HAM, seperti yang terjadi di Filipina di bawah pemerintahan Rodrigo Duterte. Duterte, yang menggunakan pendekatan perang dalam memerangi narkoba, akhirnya berhadapan dengan International Criminal Court (ICC) karena diduga melakukan pelanggaran HAM.

    Indonesia harus belajar dari kasus ini. Pelibatan TNI dalam penanganan narkoba hanya boleh dilakukan dalam situasi darurat, ketika kapasitas kepolisian sudah tidak mampu menangani. Itu pun harus melalui keputusan politik negara, bukan dalam situasi normal. Jika tidak, kita berisiko menggeser pendekatan penegakan hukum dari criminal justice system ke war model, yang berpotensi melanggar HAM dan merusak demokrasi.

    Melemahnya Kontrol Sipil atas Militer

    Dalam UU TNI 2004, pelibatan TNI dalam OMSP harus melalui keputusan politik negara, yaitu keputusan presiden dengan persetujuan DPR. Namun, dalam draf revisi, aturan ini diubah. OMSP tidak lagi memerlukan keputusan politik negara, melainkan cukup diatur melalui peraturan pemerintah (PP). Perubahan ini berpotensi melemahkan kontrol sipil atas militer. DPR, sebagai representasi rakyat, harus memiliki peran dalam mengawasi pelibatan TNI dalam OMSP. Jika aturan ini diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah melalui PP, dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan wewenang.

    Ancaman Overlapping dan Melemahnya Tugas Pokok TNI

    Perluasan peran TNI dalam OMSP dan jabatan sipil berisiko mengalihkan fokus TNI dari tugas utamanya, yaitu pertahanan negara. Jika TNI terlalu banyak terlibat dalam operasi selain perang, seperti penanganan narkoba, ketahanan pangan, atau bencana alam, konsentrasi dan sumber daya TNI akan terpecah. Padahal, esensi dibentuknya TNI adalah untuk menghadapi ancaman militer, baik dari dalam maupun luar negeri. Jika tugas pokok ini diabaikan, kemampuan pertahanan negara bisa melemah.

    Contoh nyata adalah program cetak sawah dan ketahanan pangan yang melibatkan TNI. Meski program ini penting, ia seharusnya bukan menjadi tanggung jawab utama TNI. Dandim, yang seharusnya fokus pada ancaman militer, justru disibukkan dengan urusan harga beras dan pangan. Ini adalah contoh nyata bagaimana perluasan peran TNI dapat melemahkan tugas pokoknya.

    Rule of Engagement yang Tidak Jelas

    Aturan tentang rule of engagement (ROE) dalam OMSP tidak lagi diatur melalui undang-undang, melainkan melalui peraturan pemerintah. Ini adalah langkah mundur. ROE harus diatur secara jelas dalam undang-undang untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Jika ROE diatur melalui PP, DPR dan masyarakat sipil tidak memiliki ruang untuk mengawasi dan memberikan masukan. Ini berpotensi menciptakan grey area yang dapat disalahgunakan.

    Kesimpulan

    Revisi UU TNI No. 34 Tahun 2004 yang baru disahkan menimbulkan kekhawatiran serius. Perluasan peran TNI dalam jabatan sipil (seperti di Kejaksaan Agung, BNPT, dan KKP) serta penambahan tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk penanganan narkoba, berpotensi mengembalikan praktik dwi fungsi militer yang telah ditinggalkan sejak reformasi 1998. Ini mengancam prinsip pemisahan peran militer-sipil dan berisiko menggeser pendekatan penegakan hukum dari criminal justice system ke war model, yang dapat melanggar HAM.

    Melemahnya kontrol sipil atas militer, dengan dialihkannya kewenangan pelibatan TNI dalam OMSP dari keputusan politik negara (presiden dan DPR) ke peraturan pemerintah (PP), mengurangi transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, perluasan peran TNI dalam urusan sipil berisiko mengalihkan fokus TNI dari tugas utamanya, yaitu pertahanan negara, dan melemahkan profesionalisme militer.

    Indonesia harus belajar dari sejarah. Revisi UU TNI ini tidak boleh mengorbankan demokrasi dan HAM. TNI harus tetap fokus pada pertahanan negara, sementara perluasan perannya dalam ranah sipil dan OMSP harus dibatasi secara ketat. DPR dan masyarakat sipil harus terus mengawasi proses ini untuk memastikan bahwa revisi UU TNI tidak menjadi langkah mundur bagi demokrasi Indonesia. Militer yang profesional adalah militer yang fokus pada tugas pertahanan, bukan urusan sipil.

    No comments