Barak Bukan Ruang Pendidikan, Tetapi Penjara Domestikasi untuk Pelajar.
Opini - Di tengah narasi besar tentang pentingnya pendidikan untuk membentuk generasi unggul, masih ada satu bentuk sistem yang terus direproduksi dan diterima begitu saja; Pendidikan dalam model barak.
Disebut sebagai solusi kedisiplinan, pembentukan karakter, dan penanaman nilai-nilai kepemimpinan, barak pelajar kerap dibungkus dalam jargon idealistik. Namun, jika ditelusuri secara kritis, model ini bukanlah ruang pendidikan yang sehat dan merdeka, melainkan penjara domestikasi yang mengikis potensi manusia dan mengekang kebebasan pelajar sebagai subjek pendidikan.
Barak adalah produk dari logika militeristik. Dalam sejarahnya, barak didesain untuk satu tujuan, yaitu efisiensi dan kontrol. Sistem ini memusatkan kuasa di tangan pengelola, menciptakan struktur hierarkis yang kaku, dan menanamkan kepatuhan sebagai nilai utama. Nilai-nilai ini mungkin berguna dalam dunia kemiliteran yang membutuhkan kepatuhan absolut dan keseragaman tindakan. Namun, ketika sistem ini diterapkan dalam konteks pendidikan pelajar, yang terjadi adalah pergeseran orientasi dari mendidik menjadi mendisiplinkan, dari membebaskan menjadi menundukkan
Pendidikan sejatinya adalah proses humanisasi, membentuk manusia yang berpikir, merdeka secara nalar, dan mampu hidup secara reflektif dalam masyarakat. Paulo Freire menyebut pendidikan sebagai proses liberasi, pembebasan manusia dari struktur-struktur opresif yang membatasi kesadarannya. Dalam model barak, apa yang disebut pembebasan itu justru lenyap. Yang tersisa hanya pengulangan rutinitas, penyesuaian diri terhadap aturan, dan pembentukan manusia yang seragam.
Hidup dalam barak berarti hidup dalam pengawasan konstan. Tidak ada ruang privat, tidak ada waktu reflektif yang benar-benar bebas. Setiap tindakan harus sesuai standar, setiap keputusan harus melalui otoritas. Akibatnya, pelajar tidak hanya dibatasi secara fisik, tetapi juga mental. Mereka tidak terbiasa membuat pilihan, tidak didorong untuk mengembangkan inisiatif, dan tidak diberi ruang untuk gagal. Padahal, pendidikan yang bermakna justru membutuhkan ruang untuk mencoba, salah, bangkit, dan belajar dari pengalaman.
Barak juga membentuk pola relasi sosial yang tidak sehat. Dalam sistem ini, pelajar diajari untuk menyesuaikan diri dengan aturan demi "kenyamanan bersama", bahkan jika aturan tersebut tidak adil atau tidak relevan. Solidaritas digantikan oleh rasa curiga, karena sistem mendorong pelajar untuk saling melaporkan jika ada yang menyimpang. Saling mengawasi menjadi norma, bukan saling mengasuh. Ini secara perlahan membentuk masyarakat kecil yang otoriter dan menekan, bukan komunitas belajar yang sehat dan suportif.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah dampak jangka panjangnya. Banyak pelajar yang tumbuh dalam sistem barak akhirnya menjadi pribadi yang sulit beradaptasi dengan dinamika masyarakat terbuka. Mereka canggung dalam mengambil keputusan mandiri, enggan bertanya karena takut salah, dan terbiasa hidup dalam sistem komando. Ini bukan kesalahan mereka, melainkan hasil dari sistem pendidikan yang gagal menyiapkan mereka untuk hidup dalam kebebasan dan tanggung jawab sosial.
Kita juga perlu mencermati bagaimana model ini berkelindan dengan reproduksi kekuasaan. Barak bukan hanya soal kedisiplinan, tetapi juga cara negara atau lembaga menanamkan nilai-nilai tertentu yang melanggengkan kekuasaan. Pelajar tidak dididik untuk kritis terhadap struktur yang ada, melainkan dilatih untuk patuh dan tunduk, bahkan terhadap ketidakadilan. Dalam jangka panjang, ini melahirkan warga yang pasif secara politik, yang melihat ketidakadilan sebagai hal biasa dan tidak memiliki keberanian untuk melawan.
Sebagai bangsa yang menjunjung nilai-nilai demokrasi, kita harus berani mempertanyakan ulang sistem pendidikan model barak ini. Apakah benar sistem ini mencetak generasi yang unggul, atau justru mengurung mereka dalam ketakutan dan kepatuhan buta? Apakah tujuan pendidikan kita adalah menciptakan manusia bebas, atau manusia yang terlatih untuk hanya menjalankan perintah?
Kita membutuhkan transformasi paradigma. Pendidikan harus dikembalikan ke jalurnya sebagai proses yang memanusiakan manusia. Ini berarti menciptakan ruang belajar yang terbuka, yang mendorong pelajar berpikir kritis, merdeka dalam berekspresi, dan tangguh dalam menghadapi kompleksitas dunia nyata. Ruang yang tidak hanya mendidik otak, tetapi juga hati dan kesadaran sosial. Ini tidak akan tercapai dalam sistem barak yang kaku, seragam, dan represif.
Maka, bila kita
sungguh mencintai generasi muda dan ingin mereka tumbuh sebagai manusia utuh,
sudah saatnya kita tinggalkan model barak. Bukan karena barak itu buruk secara
mutlak, tetapi karena ia tidak cocok sebagai medium pendidikan manusia merdeka.
Kita perlu membangun ruang-ruang belajar yang menghidupkan, bukan membungkam. Menumbuhkan,
bukan mengatur. Membebaskan, bukan mendomestikasi.
Penulis: Al Fajar Saputra (Pengurus HMJ Ilmu Hukum 2025)
No comments