• Breaking News

    ⚖️ Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu hukum 𝐄𝐪𝐮𝐮𝐦 𝐞𝐭 𝐛𝐨𝐧𝐮𝐦 𝐞𝐬𝐭 𝐥𝐞𝐱 𝐥𝐞𝐠𝐮𝐦 ⚖️ Fakultas Syariah dan Hukum, Uin Alauddin Makassar ⚖️

    Norma Suci di Tangan Kotor: Mengupas Mitos Hukum Bisa Dibeli

     

    Gambar : Abdul Muhaemin

    Opini - Ungkapan hukum bisa dibeli telah menjadi frasa populer dalam wacana publik di Indonesia, mencerminkan keresahan masyarakat terhadap integritas penegakan hukum. Kalimat ini sering dimaknai bahwa pihak yang memiliki kekuatan finansial dapat memengaruhi proses hukum dan memperoleh keuntungan tertentu dari sistem yang seharusnya netral. Namun, dari sudut pandang ilmu hukum, hukum itu bersifat abstrak, mengikat semua orang tanpa terkecuali dan tidak memiliki dimensi materiil yang dapat diperjualbelikan. Norma hukum menurut Hans Kelsen, merupakan konstruksi normatif yang berlaku umum, terlepas dari siapa objek yang diatur, sehingga pada dasarnya hukum tidak mungkin menjadi objek transaksi.

    Fenomena yang memunculkan persepsi keliru ini sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai penyalahgunaan wewenang oleh oknum penegak hukum. Oknum tersebut yang memiliki posisi strategis dalam institusi seperti kepolisian, kejaksaan atau peradilan, terkadang menggunakan kewenangan mereka untuk menerima suap, gratifikasi atau bentuk imbalan lainnya. Praktik seperti mengaburkan atau menghilangkan bukti, mengintervensi proses peradilan demi meringankan hukuman, atau menawarkan uang damai dalam perkara tertentu merupakan bentuk distorsi penerapan hukum. Norma hukum tidak berubah, yang berubah adalah perilaku aparat yang menjalankannya.

    Persepsi publik terhadap hukum terbentuk melalui pengalaman langsung dan informasi yang diserap melalui media massa. Ketika masyarakat menyaksikan atau mendengar kasus aparat yang tertangkap menerima suap atau putusan pengadilan yang dinilai janggal, mereka cenderung menyimpulkan bahwa hukum itu sendiri dapat dibeli. Pandangan ini diperkuat oleh pemberitaan media yang sering menyoroti kasus-kasus suap besar tanpa membedakan secara jelas antara norma hukum yang berlaku dan penyalahgunaan wewenang oleh individu.  Akibatnya, kepercayaan publik  terhadap lembaga hukum menurun drastis. Muncul sikap apatis, sinis, bahkan permisif terhadap praktik suap, karena dianggap sebagai cara umum untuk mengatur perkara.

    Secara normatif, praktik memperjualbelikan kewenangan atau memengaruhi jalannya proses hukum dengan imbalan uang, jelas dilarang dan diancam pidana. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mengamanatkan bahwa setiap penyelenggara negara wajib menjalankan tugas secara jujur, transparan, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

    Dalam lingkup pidana, Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur pidana bagi pejabat publik yang menerima suap atau gratifikasi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Lebih lanjut, Pasal 418 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengancam pidana penjara bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji karena kekuasaannya. Mekanisme pengawasan internal dan eksternal, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor  22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, juga dirancang untuk menjaga integritas aparat peradilan.

    Meskipun secara konseptual hukum Adalah norma yang tidak dapat diperjualbelikan, realitas sosial di Indonesia menunjukkan bahwa perilaku menyimpang oknum penegak hukum telah menciptakan persepsi publik seolah hukum itu bisa dibeli. Kesalahan persepsi ini berakar pada lemahnya integritas individu dalam institusi hukum, rendahnya efektivitas pengawasan, serta masifnya pemberitaan media yang kerap menyoroti kasus korupsi aparat tanpa membedakan antara norma hukum dan pelaksanaaanya. Keberadaan aturan tegas dalam UU Nomor 28 Tahun 1999, UU Tindak Pidana Korupsi, dan KUHP memang memberikan landasan normatif untuk menindak praktik suap, namun tanpa konsistensi penegakan dan keterbukaan proses, norma tersebut akan tetap menjadi teks yang kehilangan daya paksa. Dengan demikian, tantangan utama bukan terletak pada pembaharuan hukum tertulis,  melainkan pada pembenahan mentalitas, keberanian politik untuk menindak pelanggaran tanpa pandang bulu, dan transformasi sistem pengawasan menjadi mekanisme yang benar-benar independen. Tanpa Langkah radikal tersebut, klaim bahwa hukum bisa dibeli akan terus menjadi retorika yang kalah oleh kenyataan dilapangan.

    Penulis : Abdul Muhaemin (Anggota Bidang Akhlak dan Moral HMJ Ilmu Hukum 2025)

    1 comment:

    1. Sepakat sama opini ta kandaa. Yang buram bukan hukumnya tapi yang menjalankannya. Ibarat parit yang digunakan untuk memanen padi malah digunakan untuk memanen keserakahan

      ReplyDelete